PDM Kota Cirebon - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Cirebon
.: Home > Artikel

Homepage

Bangsa yang Tidak Berpikir

.: Home > Artikel > PDM
14 Desember 2011 19:23 WIB
Dibaca: 1705
Penulis : Sukardi

 

Kishore Mahbubani dalam bukunya ‘Can Asia Think’ dengan tajam memberikan pertanyaan sindiran kepada orang-orang yang tinggal di belahan Timur dunia. “Bisakah orang Asia berpikir” ?. Ketidakmampuan berpikir bangsa-bangsa Asia itu dikorelasikan dengan kondisi empiris bangsa bangsa
Asia yang secara sosial, ekonomi, politik tertinggal jauh dari bangsa-bangsa yang tinggal di belahan Barat. Asia dikatakan tidak pernah berpikir atau paling tidak berusaha untuk memperbaiki kualitas kehidupannya, tidak pernah sungguh-sungguh belajar untuk memperbaiki citra diri serta mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain.

Bangsa Indonesia sebagai bagian ras Asia tidaklah luput dari sindiran Kishore Mahbubani tersebut, apalagi bila dilihat dari sisi ekonomi bisa dikatakan berada di strata bawah diantara negara-negara Asia lain. Artinya, ketika pertanyaan itu itu diajukan negara per negara maka bangsa kita termasuk dalam kategori bangsa yang tidak pernah berpikir, atau jangan-jangan malah lebih parah lagi, bangsa yang tidak punya pikiran.

Setelah lebih dari setengah abad merdeka, prestasi Indonesia di berbagai bidang bisa dikatakan lebih lambat dibandingkankan dengan negara-negara Asia lainnya. Luasnya wilayah dan melimpahnya sumber daya alam tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia berdampak pada eksplorasi yang alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, tapi justru malah mendatangkan musibah dan kesengsaraan. Banjir bandang di Sumatra Utara yang menewaskan puluhan bahkan ratusan jiwa, tanah longsor di  Jawa Barat serta tragedy lain di beberapa wilayah nusantara lain yang disebabkan eksploitasi alam yang membabi buta.

Dalam perspektif agama, bangsa Indonesa bisa dikategorikan sebagai bangsa yang kurang mensyukuri nikmat. Berkah reformasi pasca runtuhnya rezim Orde Baru yang memunculkan harapan baru bagi rakyat ternyata hanya fatamorgana. Lebih dari sepuluh decade gong reformasi dibunyikan, nasib petani garam  gurem, nasib buruh relative tak kunjung membaik, korupsi yang semula tersentralisasi di Jakarta sekarang beralih kepada raja-raja kecil di setiap daerah yang merupakan konsekwensi logis dari penerapan otonomi daerah.

Tapi benarkah bangsa Indonesia bangsa Indonesia tidak pernah berpikir selama lebih dari setengah abad setelah meraih kemerdekaan dari tangan penjajah ?. Tegaknya sebuah Negara tergantung pada keberadaan wilayah geografis yang diakui secara internasional, keberadaan sejumlah orang/rakyat dan juga pemerintahan yang mempertahankan kedaulatan wilayah serta mengatur atau mengelola rakyat untuk mencapai kesejahteraannya. Dengan latar belakang beragam kerajaan (dari mulai  yang bercorak Hindu, Budha hingga Islam) serta lamanya penjajahan yang dilakukan Belanda dimana  paham  aristokratis yang kuat serta   feodalisme akut mencengkeram hampir sebagian besar rakyat Indonesia. Dampak paling nyata dari kedua paham  paham tersebut adalah menyebarnya kultur atau  sifat-sifat inferioritas,  ‘jumud’ dan stagnan dalam berpikir serta berbagai ‘sikap nrimo’ dan sikap-sikap kontra produktif lainnya di kalangan masyarakat. Meski diakui bahwa dampak positif dari pemilikan kultur ini berguna pada momen tertentu, misalnya resistensi rakyat terhadap terhadap berbagai macam penderitaan yang menimpa mereka.

Dengan hidup di bawah system monarki serta dilanjutkan dengan system feodal yang diterapkan oleh penjajah maka tidak mengherankan kalau pola pikir dan pola tindakan rakyat selalu menunggu atau berorientasi kepada orang-orang atau kelompok yang dianggap memliki ‘kelebihan dibanding orang kebanyakan’. Orang atau kelompok itu bisa berstatus sebagai kyai, cendikiawan, negarawan, birokrat, politikus, ekonom, seniman, budaywan atau profesi lainnya. Sehingga  secara spesifik Kishore Mahbubani bertanya “Can Indonesia think?” , apakah bangsa Indonesia bisa berpikir, maka pertanyaan tersebut lebih mengarah kepada orang-orang yang memiliki kelebihan tersebut.

Menjelang kemerdekaan sampai dengan revolusi fisik praktis orang-orang yang punya kelebihan itu yang menjadi tumpuan rakyat. Mereka, meski memiliki latar belakang ideology berbeda, bahkan mungkin bisa disebut bertentangan –kubu komunis yang atheis vis avis kubu yang berlandaskan agama-, tetapi bisa saling toleran dan bersatu menghadapi penjajah  yang berusaha menancapkan kembali kuku kolonialismenya. Jiwa nasionalisme dan kepedulian mereka terhadap nasib bangsa mengalahkan egoism kelompok dan pemikiran sektarianisme lainnya. Keberpihakan mereka terhadap nasib rakyat dan generasi mendatang begitu kuat sehingga nyaris terkesan mengeleminir kecintaan mereka terhadap entitas kelompok, keluarga bahkan kepada diri mereka sendiri.

 

Semangat Sektarian

Pasca revolusi fisik nyata sekali pemikiran orang-orang yang dianggap punya kelebihan oleh rakyat tersebut tidak lagi cerdas, orientasi mereka sedikit bergeser. Mereka berpikir tetapi dengan semangat kelompok yang begitu kental, dan orientasi berpikir mereka ini akhirnya berdampak pada pola piker masyarakat secara keseluruhan. Rezim Orde Baru muncul dengan semangat militerisme yang mengusung jargon dwi fungsi ABRI. Semua pemimpin lini pemerintahan dari pusat sampai di tingkat kota/kabupaten diisi oleh purnawirawan atau militer aktif yang dialihfungsikan.

Kebijakan dwi fungsi ABRI ini didukung oleh para ‘iner circle’ yang terdiri dari ekonom, agamawan, budayawan, politisi, pendidik, dan para seniman yang menerima konsep dwi fungsi. Sementara orang atau kelompok yang memiliki kelebihan dan tidak sepaham, atas nama rakyat dan stabilitas keamanan dibungkam.

Semangat kelompok dan jurus mencari selamat dari tuduhan subsersif, dan ikut serta menjarah harta rakyat  jika ada kesempatan menjangkiti hamper semua entitas. Amir Rais, salah satu arsitek rezim reformasi pernah mengatakan bahwa kekayaan alam Indonesia hampir 40% lebih dieksploitasi tanpa kompensasi yang jelas untuk kesejahteraan rakyat. Alih-alih membawa kemakmuran, rezim ini malah meninggalkan utang luar negeri yang banyak (Indonesia menempati peringkat tiga Negara yang memiliki hutang terbesar di dunia).

Pemerintahan reformasi dengan deregulasi di hampir semua bidang kehidupan ternyata belum mampu membuat bangsa Indonesia berpikir. Kecintaan terhadap kelompok masih mengalahkan pikiran dan jiwa kebangsaan. Ketika orang kaya di negara-negara tetangga rela menyerahkan (meminjamkan) asset yang dimiliki kepada pemerintah untuk menaikkan nilai tukar uang mereka terhadap dolar, orang kaya di Indonesia lebih memilih melakukan ‘capital flight’ atau mengalihkan asset mereka ke negara lain.

Para politisi negeri yang disebut-sebut sebagai negeri yang makmur loh jinawi dan Tuhan tersenyum ketika menciptakannya karena kaya dengan sumber daya dan penuh pesona keindahan lebih rela melepaskan kepentingan rakyat manakala kepentingan partainya terancam. Para politisi negeri ini akan melakukan segala cara untuk mencapai kemenangan. Sila Ketuhanan yang menjadi ruh partai berganti dengan ideology marxis saat menghadapi pemilu atau pilkada.    

Sebagian kelompok keagamaa di negeri yang menjunjung akhlakul karimah ini lebih mementingkan soal-soal ritual dengan banyak membangun tempat ibadat tetapi kosong penghuni saat dilakukan ritus, dibandingkan mengurusi persoalan-persoalan ekonomi sosial rakyat. Sebagian besar seniman, khususnya para ‘cineas’ lebih memilih membuat film-film yang mengarah kepada pembodohan missal atau menawarkan kehidupan hedonis yang meninabobokan rakyat dengan membuat film-film yang sarat dengan  takhayul dan kehidupan glamor para tokohnya.

 

Semangat baru

Menghadapi tuduhan minor Kishore Mahbubani tersebut,  tidak seharusnya para tokoh di semua entitas merasa gerah atau melakukan jurus-jurus berkelit dengan argumentasi yang dicari-cari, apalagi melakukan provokasi seperti yang dilakukan oleh calon yang kalah dalam pilkada kepada para konstituennya. Introspeksi dan konsolidasi para tokoh di entitasnya masing-masing seharusnya dilakukan secara berkala. Evaluasi program dengan melibatkan banyak masukan dari berbagai pihak layak dilakukan.

Kishore Mahbubani berpendapat bahwa bangsa Asia yang berpikir dan mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa Barat hanyalah Jepang. Mengapa Jepang bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika ? Dan mengapa bangsa-bangsa Eropa dan Amerika bisa maju ?

Terlepas dari sejarah peradaban yang dipastikan berbeda untuk semua komunitas bangsa, juga terlepas dari bagaimana kondisi geografis, iklim, sumber daya alam yang diyakini berbeda antar bangsa TImur dan Barat, maka jawaban dari mengapa Jepang dan Eropa bisa maju adalah mereka sama-sama mempunyai mentalitas yang memadai untuk bisa menjadi bangsa yang maju. Mentalitas yang khas dan diambil dari hal-hal yang diyakini orsinilitas dan kebenarannya dari masing-masing kultur.

Budaya kerja, menghargai prestasi, manajemen waktu, menghargakan prestasi di atas prestise, menghormati hak orang lain, dan semuanya dilandaskan dedikasi kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Etika protestan yang menganggap bahwa kerja adalah manifestasi ketundukan kepada Tuhan begitu berakar kuat di kalangan bangsa Eropa. Kerja merupakan bentuk konkret dari dan ketundukan bangsa Jepang kepada kaisar yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi menurut kepercayaan Sinto mereka.

Kemalasan dan kemiskinan menurut kedua bangsa tersebut merupakan aib yang harus dihindari. Kecurangan dan kebohongan merupakan hal yang memalukan dalam kultur mereka sehingga tidak jarang ada peristiwa ‘harakiri’ seorang siswa sekolah di Jepang yang ketahuan nyontek saat mengikuti ujian karena merasa malu. Kebodohan dan sikap menyia-nyiakan kesempatan adalah momok yang menakutkan sehingga mundurnya seorang perdana menteri yang baru menjabat tujuh hari menjadi hal yang biasa disana.

Berangkat dari hal-hal di atas maka jelas hal pertama dan utama untuk kebangkitan Indonesia adalah dengan pemilikan mentalitas positif seperti yang dipunyai oleh kedua bangsa tersebut. Dan salah satu sumber orsinil yang bisa menginspirasi sikap mental konstruktif adalah melalui agama seperti halnya bangsa Eropa dengan etika protestan dan bangsa Jepang dengan etika Shintonya. Karena Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia maka sangatlah wajar jika menjadi salah satu sumber pembentukan mentalitas. Diperlukan formulasi dan  kontekstualisasi teks-teks Islam yang sesuai dengan kultur ke-Indonesia-an.

Persoalan selanjutnya adalah apakah semua tokoh, baik yang duduk di pemerintahan maupun yang non pemerintah menyadari bahwa bangsa Indonesia memang membutuhkan mentalitas yang berlandaskan ketuhanan seperti halnya banga Eropa dan Jepang. Kemudian sanggupkah para tokoh tersebut menjadi leader atu teladan bagi anggota kelompok/rakyatnya dan  menjadi orang pertama yang mengkhidmati mentalitas. Berusaha keras untuk menanggalkan semangat sektarianisme, menghapus jejak-jejak feodalisme serta menjauh dari perilaku marxisme. Kalau tidak bisa maka janga harap Indonesia bisa disebut sebagai bangsa yang berpikir dan bisa mengejar ketertinggalannya dengan bangsa lain.


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website