PDM Kota Cirebon - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Cirebon
.: Home > Artikel

Homepage

Humanisme dan Pluralisme

.: Home > Artikel > PDM
08 Mei 2012 07:59 WIB
Dibaca: 2669
Penulis : Sukardi

 

Makin merebaknya  peperangan antar warga  di Ibukota dan juga di beberapa kota lain seperti yang dilansir oleh media masa  cetak maupun media masa elektronika beberapa waktu lalu mengundang keprihatinan berbagai kalangan. Demikian juga dengan peperangan yang terjadi di antara mahasiswa yang satu kampus tapi berbeda faktultas atau antara pelajar yang berbeda sekolah  di suatu kota. Jalan musyawarah yang telah berkembang dan mentradisi di masyarakat selama hampir puluhan tahun, sekarang nampaknya  nyaris tidak tersisa.  Kekerasan   telah menjadi pilihan untuk menyelesaikan suatu masalah , kekerasan telah menjadi tren untuk memaksakan kehendak suatu kelompok kepada kelompok lainnya.  

            Mayoritas media massa menyebut, bahwa sebagian besar peperangan yang terjadi  dipicu oleh persoalan-persoalan kecil yang penyelesaiannya sebenarnya  bisa dimusyawarahkan secara damai,  seperti saling mengejek, kekalahan salah satu tim dalam sebuah pertandingan, berbeda pemahaman terhadap suatu fenomena sosial dan hal-hal yang relatif sederhana lainnya. Sementara pernyataan para akademisi dan tokoh masyarakat menyebut bahwa merebaknya kekerasan komunal yang terjadi di masyarakat tidak bisa dilepaskan dari persoalan-persoalan kemiskinan, krisis kepemimpinan, banyaknya tindakan koruptif yang dilakukan para birokrat serta lemahnya penegakan hukum dan hal-hal lainnya yang bersifat makro.

            Kompleksitas masalah yang terus menerus mengkungkung setiap komunitas keluarga pada akhirnya  menelikung akal sehat setiap individu yang ada di masyarakat. Etika sosial dan nilai-nilai religius yang seharusnya  menjadi landasan konstruksi sistem sosial masyarakat beragama (seperti yang diamanatkan konstitusi) menjadi rapuh. Penghormatan dan penghargaan hak-hak dasar manusia tidak lagi dipandang mulia, kedamaian dan ketentraman menjadi barang mahal, mengalahkan dan menyakiti  pihak lawan menjadi penawar dahaga ditengah kegalauan.

            Kalau analisis para akademisi dan tokoh masyarakat  itu diterima,  maka secara tidak langsung analisis ini akan menjadi pembenaran atas peperangan komunal yang terjadi. Karena seperti diketahui pasca reformasi 1998 jumlah kemiskinan tidak berkurang secara signifikan, korupsi berjamaah yang dilakukan oleh para kepala daerah yang  terungkap setelah mereka turun dari jabatannya,  hakim yang menciderai rasa keadilan dengan memberikan vonis ringan kepada para koruptor dan hukuman berat bagi petani yang hanya mencuri beberapa butir kakao. Peperangan komunal seolah  menjadi bentuk protes atas realitas keadilan  ekonomi dan keadilan hukum yang berpihak kepada yang kuat (penguasa dan kapitalis) dan menafikan  yang lemah (rakyat jelata).

 

Pusat Perubahan Sosial.

Fungsi utama sekolah selain sebagai institusi yang mentransformasi ilmu pengetahuan dan teknologi juga melakukan transformasi nilai-nilai sosial. Sekolah berfungsi sebagai laboratorium sosial yang menyiapkan para peserta didiknya agar bisa mandiri dan siap saat terjun ke masyarakat. Keberhasilan sekolah dalam bidang transformasi sosial adalah dengan memampukan outputnya  untuk bisa cepat beradaptasi dengan kehidupan masyarakat sekaligus mewarnainya dengan nilai-nilai konstruktif..  Dengan demikian transformasi nilai-nilai dilakukan sekolah kepada peserta didik adalah melestarikan dan mengkonstruksi nilai-nilai positif yang ada dan  sekaligus mendekonstruksi nilai-nilai buruk yang berkembang di masyarakat.

Teknik dan metode mentransformasikan nilai sosial ini tidak akan efektif jika hanya dilakukan dengan cara oral/ceramah atau membaca (apalagi melalui doktrin) belaka, karena sesungguhnya nilai atau etika sosial tidak hanya sekedar pengetahuan tetapi lebih jauh itu, nilai sosial adalah merupakan sekumpulan cara-cara berperilaku yang lebih mengarah  kepada internalisasi sikap dan aplikasi dalam kehidupan keseharian seorang individu dalam masyarakatnya. Teknik observasi eksplorasi dan diskusi sebaiknya lebih sering digunakan. Kemajuan teknologi informasi yang ditandai dengan munculnya teknologi internet yang sanggup menghantarkan sebuah informasi atau kejadian aktual, ideologi, gaya hidup,  paham, dan berbagai persoalan suatu daerah ke seluruh penjuru dunia dalam hitungan menit membuat pengetahuan peserta didik sekarang mengetahui tentang berbagai persoalan sosial . Bahkan bisa jadi informasi mereka lebih banyak dibanding para gurunya, mengingat ‘jam terbang’ mereka lebih intens dalam melakukan penjelajahan di dunia maya.

Jika disepakati bahwa sekolah merupakan institusi yang berfungsi sebagai agen perubahan sosial maka guru yang menjadi garda terdepan di bidang pendidikan merupakan super agent-nya. Guru lah yang mendesain, memilih  dan memilah nilai-nilai sosial yang perlu ditularkan dan diinternalisasikan kepada peserta didiknya, sekaligus melakukan filterisasi terhadap nilai-nilai yang berpotensi kontra produktif dengan keutamaan nilai-nilai sosial positif. Untuk bisa mendesain sekaligus mentransformasikan nilai ini dibutuhkan kerja keras serta kreatifitas yang tinggi dari para guru.

Kemampuan teknologi informasi setiap guru harus terus menerus di  tumbuhkembangkan. Pembacaan  realitas sosial dan mengikuti perkembangan psikologi peserta didik dan perubahan budaya juga harus terus dilakukan. Idiom-idiom yang digunakan dalam bahasa populer yang digunakan para peserta didik harus sedikit banyak harus dipahami oleh para guru. Hal ini penting dilakukan untuk membangun komunikasi, karena ketika interaksi yang dilakukan guru diselingi dengan sedikit memasukkan ‘bahasa gaul’ yang kerap digunakan di kalangan mereka akan lebih mudah, tanpa harus mereduksi atau mengorbankan  wibawa guru.

Disamping teknik dan metode transformasi, keteladanan juga menjadi kata kunci bagi keberhasian upaya internalisasi nilai-nilai sosial para siswa.  Guru sebagai sosok orang dewasa dan menjadi representasi masyarakat di kelas idealnya memahami perannya sebagai panutan bagi para peserta didiknya. Sinkronisasi antara pengetahuan nilai-nilai positif dan implementasi dalam tindakan guru saat berada di kelas/sekolah kelas menjadi pendorong minat para siswa untuk berperilaku positif dalam bermasyarakat. Duplikasi akan terus dilakukan para siswa terhadap guru yang berbuat dan bersikap konsisten dengan ucapannya.

 

Berbingkai Pancasila     

            Kesulitan ekonomi yang terus mendera kehidupan, krisis kepemimpinan yang menggerus  dunia politik, tercederainya rasa keadilan, serta berbagai anomali sosial lain yang melanda negeri ini tidak harus membutakan mata hati dan mereduksi akal budi seseorang. Optimisme harus perlu dibangun dan selalu digelorakan, meski agak ‘sayup-sayup’ karena  kehidupan para peserta didik di sekolah relatif lebih sedikit jangka waktunya dibandingkan dengan kehidupannya di tengah keluarga dan di tengah masyarakat.

            Bahwa Tuhan tidak akan mengubah kondisi (buruk) suatu komunitas sebelum (sebagian) komunitas tersebut berupaya untuk mengubah (keburukannya)  sendiri. Sebuah keburukan tidak akan bisa diubah dengan  keburukan yang lain. Kemiskinan harus diubah dengan kerja keras dan perbaikan kualitas kerja serta pendidikan. Krisis kepemimpinan bisa diatasi dengan melakukan upaya pengkaderan dan penempaan di bidang leadership dan manajemen. Terciderainya rasa keadilan diobati dengan melakukan upaya pendidikan hukum terhadap masyarakat serta advokasi terhadap kasus-kasus yang melibatkan masyarakat kecil dan para kapitalis atau pemerintah.

            Untuk mencapai kondisi di atas maka para guru harus memahami serta  menginternalisasi nilai-nilai humanisme dan pluralisme yang berbingkai Pancasila. Dan diharapkan dengan internalisasi ini,  para guru akan bertindak dan berperilaku lebih humanis serta menghargai  pluraltas. Secara perlahan tetapi pasti para siswa akan melakukan upaya duplikasi terhadap sikap gurunya tersebut dan dalam jangka panjang akan terbentuk karakter humanis yang pluralis saat berinteraksi dengan masyarakat.

            Nilai-nilai humanisme dan pluralisme yang ditumbuhkembangkan oleh para guru dalam kehidupan di sekolah adalah nilai-nilai humanisme dan pluralisme yang berkelindan dengan kearifan lokal khas Indonesia, bukan nilai humanisme dan pluralisme yang berbingkai liberalisme. Humanisme dan pluralisma Pancasila  - kalau bisa disebut demikian- adalah suatu sikap yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan serta menghargai perbedaan dalam bertindak dan berperilaku, khususnya ketika melakukan interaksi sosial atau ketika menghadapi masalah-masalah sosial. Humanisme dan pluralisme Pancasila adalah suatu paham humanisme dan libelarisme yang tetap mempertimbangkan nilai-nilai religius (sesuai dengan landasan idiil pada sila pertama, kedua dan ketiga  Pancasila). Humanisme dan pluralisme Pancasila merupakan pola pikir dan tindakan seorang humanis yang pluralis tanpa menafikan nilai-nilai agama dan  persatuan dan kesatuan bangsa.

Humanisme yang dibangun adalah humanisme yang tetap mempertimbangkan nilai-nilai ilahiah. Bahwa nilai kemanusiaan akan membawa kesejahteraan umum (maslahat) apabila tetap dalam koridor agama karena pada dasarnya agama diturunkan Tuhan untuk lebih ‘memanusiakan manusia’ (mengoptimalkan peran manusia sebagai khalifah fil ardh sesuai dengan salah tujuan penciptaan manusia di bumi). Pluralisme yang dibangun adalah pluralisme yang berlandaskan kebhinekaaan dalam bingkai negera kesatuan Republik Indonesia. Sebanyak dan setajam apapun perbedaan tersebut bisa diakomodasi  selama tidak mengancam kesatuan dan keutuhan negara.   

            Apabila pemahaman humanisme dan pluralisme Pancasila seperti di atas telah terinternalisasi dalam setiap individu masyarakat Indonesia maka kemungkinan terjadinya peperangan komunal atau kekerasan yang bersifat masif akan sangat minimal. Karena setiap orang akan menyadari memiliki pemahaman yang sama tentang humanisme dan pluralitas serta pentingnya bersikap demikian demi keberlangsungan dan kesejahteraan masyarakat. Tekanan kemiskinan, krisis kemiskinan, tercederainya rasa keadilan akan bisa dipahami  sebagai sebuah dinamika yang akan bisa diperbaiki secara gradual serta dengan cara-cara yang lebih cerdas dan santun. Kesalahpahaman yang terjadi antar komunitas masyarakat akan diselesaikan dengan cara-cara musyawarah, bukan dengan peperangan yang merugikan semua pihak.

 

Implementasi di kelas

Guru yang humanis dan pluralis akan menganggap peserta didik sebagai obyek sekaligus subyek dalam kegiatan belajar di kelas. Sebagai obyek dalam upaya transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi dalam penyampaian materinya tetap mempertimbangkan keragaman gaya belajar siswa yang terdiri dari tipe audio, visual dan kinestetik. Metode dan teknik yang digunakan dalam pembelajaran tidak hanya memanjakan para siswa yang memiliki tipe audio dengan terus-menerus menggunakan metode ceramah, tetapi juga menggunakan metode diskusi, eksplorasi dan observasi.

Kebijakan sistem paket dan sistem klasikal yang sekarang digunakan dalam pengelompokan siswa  yang menafikan keragaman  kemampuan para siswa tidak membuat para guru mengabaikan fakta kondisi peserta didik yang plural atau terjebak pada ‘penyeragaman’ latar belakang sosial, kemampuan intelektual, keunikan cara belajar para siswanya. Program remedial teaching bagi para siswa yang memiliki kemampuan yang relatif sedikit di bawah rata-rata dengan indikasi tidak tercapainya batas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) layak harus dilakukan dalam rangka memberikan layanan maksimal. Memanfaatkan siswa yang telah mendapatkan nilai ulangan jauh di atas rata-rata KKM juga perlu dicobakan sebagai upaya percepatan keberhasilan program remedial teaching.     

Pola pendekatan yang digunakan dalam berinteraksi dengan para siswanya di kelas menggunakan  pendekatan sistem yang humanis.  Pendekatan sistem yang humanis adalah suatu  pendekatan yang mengasumsikan bahwa pada dasarnya semua orang itu baik dan hanya menginginkan kebaikan. Kebaikan individu akan mempengaruhi kebaikan kelompok dan juga sebaliknya. Iklim kelas dikondisikan agar selalu dalam kondisi baik, dalam pengertian kondusif bagi pengembangan inetektual serta sikap demokratis peserta didik. Ketika terjadi konflik pertemanan antar  penghuni kelas  maka pemecahan diusahakan dilakukan melalui  musyawarah kelas, dengan guru sebagai mediator atau fasilitatornya.

Penghargaan guru atas penyelesaian konflik yang terjadi diantara para siswa di kelas akan membentuk rasa  lebih percaya diri dalam para siswa ketika menghadapi persoalan-persoalan kehidupannya kelak. Dalam memori otak sadar para siswa juga akan tersimpan rekaman  pola sikap dan teknik serta pendekatan demokratis yang digunakan guru  selama berinteraksi di kelas. Ingatan sadar siswa tentang gurunya tersebut dalam jangka waktu tertentu mengendap secara permanen di bawah otak bawah sadarnya  dan akhirnya  menjelma menjadi perilaku.   


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website