PDM Kota Cirebon - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Cirebon
.: Home > Artikel

Homepage

Ingsun Titip Tajug Lan Sendal Jepit

.: Home > Artikel > PDM
25 Desember 2011 05:51 WIB
Dibaca: 2352
Penulis : Sukardi

 

Berkah itu datangnya tiba-tiba. Salah satu program CSR (Corporate Social Responsibility) sebuah perusahaan jasa  hiburan di kota Cirebon memberangkatkan  umroh beberapa pekerja sosial yang ada di wilayah Cirebon. Dogol yang sudah belasan tahun menjadi penjaga dan tukang bersih-bersih masjid kampung menjadi salah satu kandidatnya. Orang-orang sekampung sempat heboh, Dogol yang kesehariannya sebagai tukang becak bisa berangkat umroh. Meski sempat beradu argumentasi dengan Mang Bukhori soal kehalalan biaya umroh yang didapat dari tempat hiburan tapi akhirnya Dogol  berangkat juga. Toh tidak sedikit orang-orang yang berhaji dengan biaya dari hasil riba yang jelas-jelas diharamkan agama, bahkan ada juga yang nekat berhaji dari hasil korupsi dana-dana rakyat.

Dalam pikiran Dogol yang sederhana, setelah berangkat umroh paling tidak dia akan mendapat gelar tambahan U didepan namanya, seperti halnya tambahan gelar H bagi orang yang telah menunaikan ibadah haji. Tak pernah terlintas dalam pikiran Dogol bahwa ketika argumentasi tersebut diterapkan dalam  ritus ibadah lainnya maka akan muncul gelar Z ketika seorang muslim telah menunaikan zakat dan gelar S setelah tekun menunaikan shalat.

Birokrasi berbelit dan super lama Dogol rasakan saat membuat paspor. Calo-calo bergentayangan dan keluar masuk ruang-ruang kantor imigrasi, sementara himbauan tulisan untuk tidak menggunakan jasa calo banyak menempel di ruang proses pembuatan paspor. Para calo bergerak begitu bebas, bahkan secara demonstrative memberikan uang pelicin di depan orang-orang pembuat paspor kepada para pegawai imigrasi. Tulisan laporkan kepada KPK jika melihat hal-hal yang berbau korupsi dengan huruf-huruf kecil terlihat  kusam dan terkesan dipaksakan.  Jika Dogol harus menunggu seharian untuk menunggu panggilan sementara pemakai jasa calo yang rata-rata orang berduit hanya cukup menunggu beberapa menit saja.

Uang pelicin yang diberikan para calo kepada para petugas imigrasi itu termasuk gratifikasi atau bukan, pikiran Dogol tidak bisa mencapainya. Tambahan jasa pengurusan paspor yang dilakukan oleh calo TKI (PJTKI) yang bisa mencapai jutaan rupiah sementara nominal yang dibayarkan kepada Negara hanya ratusan juta, termasuk penghaslan yang halal atau tidak juga tidak pernah terbayang dalam pikirannya.

Di pesawat Garuda Dogol benar-benar merasa betah, fenomena jetleg serta cerita seram pesawat gagal mesin tak sedikitpun terlintas dalam pikiran Dogol. Layanan pramugari yang ramah serta menu makan yang aneh tapi lezat membuat Dogol merasa seperti Pangeran di negeri seribu satu malam. Sekilas Dogol teringat pada Mbok Mar pemilik warteg yang selalu menyorongkan nasi dengan muka masam. Hasil menarik becak Dogol beberapa bulan ke belakang memaksanya untuk sering berhutang. Perang uang muka antar dealer motor membuat masyarakat berlomba untuk memiliki sepeda motor. Hal ini jelas mengurangi jumlah pelanggan Dogol dan berujung pada berkurangnya pendapatan Dogol serta para penarik becak lainnya.  

Melihat senyuman para pramugari yang melayani menu makan, Dogol juga teringat pada senyum masam  para perawat dan  pegawai  Rumah Sakit Gunung Jati yang pernah merawatnya dulu. Senggolan dengan angkot membuat roda becanya terlipat dan kepalanya harus dijahit 20 jahitan. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang disodorkan kepada pihak rumah sakit ternyata tidak membuatnya menjadi orang sakit yang perlu dilayani sepatutnya sebagai pasien (seingat Dogol yang pernah makan bangku sekolah pertama, kata pasien berasal dari bahasa londo  patient yang berarti ‘sabar’). Seorang pasien rumah sakit selayaknya  dilayani dengan kesabaran, ketelatenan dan keramahan  Dogol tetap dianggap sebagai seorang tukang becak yang tidak menghasilkan profit untuk rumah sakit, jadi tampaknya tidak perlu dianggap sebagai pasien. Entah sampai kapan para perawat dan para pegawai rumah sakit pemerintah itu bisa mengubah paradigma lebih manusiwai dalam  menghadapi para pemakai jasa yang berasal dari kalangan marginal seperti Dogol.

 

Manajemen Profetik.

            Dogol tidak bisa menerjemahkan bagaimana perasaannya saat berada di depan makam Nabi. Perasaannya bergemuruh sukar dilukiskan, jantungnya berdetak naik turun  zig-zag .  Gelombang otaknya serasa berganti-ganti begitu cepat dari beta ke alfa, dari alfa ke teta, kemudian dari teta tiba-tiba melompat ke beta. Seperti mimpi Dogol bisa berdiri di depan makam orang yang dia sangat cintai dan yang dia sebut namanya paling tidak sembilan kali dalam sehari semalam saat melakukan tasyahud di tiap shalat lima waktu. Diapit oleh kedua orang sahabatnya, Abu Bakar dan Umar (radiallahuanhuma), makam nabi dijaga ketat oleh Askar Masjid Nabawi dari tangan-tangan iseng para pejiarah yang bermaksud melakukan praktik tak terpuji.

            Beberapa kali Dogol menyambangi makam Nabi, perasaan bergemuruh tersebut tak pernah hilang, bahkan sampai saat terakhir kali kunjungannya. Perasaan tersebut terjadi entah karena Dogol terlalu mencintai Nabi sehingga saat bertemu Nabi -meski hanya pusaranya-  tidak bisa berkata apa-apa, atau bisa jadi karena perasaan bersalah Dogol  yang dalam obrolannya usai shalat Isya dengan teman-temannya di Masjid kampung kerap membandingkan akhlak Nabi dengan akhlak para pemimpin rakyat di kota wali. Dogol selalu berharap para pemimpin rakyat yang berada di jajaran lembaga trias politica bisa menduplikasi Nabi dalam hal melaksanakan amanat kepimpinannya.    

            Lubang-lubang yang bermunculan di jalanan protokol Kota Cirebon yang tidak pernah kunjung ditangani dan menyebabkan roda becak mleyot,soal perijinan bangunan yang carut marut, kasus karaoke fantasy, kasus APBD Gate dan kasus-kasus malpraktik kepemerintahan lain tidak akan terjadi jika pola manajamen profetik (kenabian) diterapkan. Manajemen yang tidak hanya mengandalkan kapabalitas personal semata-mata tetapi juga akuntabilitas horizontal kemanusiaan (kepada rakyat selaku stakeholder yang memberi amanat) serta akuntabilitas vertikal (kepada  Tuhan Zat Yang Maha Pemberi).

 

Kesucian Masjid dan Penanganan Kemiskinan

Berada di depan Ka’bah hati dan segenap perasaan Dogol merasa tentram. Di depan rumah Tuhan ini semua dianggap sama, perbedaan  etnis, status ekonomi maupun bentuk-bentuk artifisial lainnya nyaris sirna. Segenap ego kemanusiaan, daki-daki peradaban, karat-karat kemunafikan serta kesombongan semi dajal yang bersembunyi di bagian-bagian terdalam hati manusia dilebur dalam perputaran yang sengaja dilakukan oleh kaum muslimin dengan melakukan tawaf.

Bedoa diantara beragam jenis etnis di  multazam, tempat antara hajar aswad dan pintu ka’bah, memberikan kesadaran spiritual paripurna terhadap Dogol bahwa  setiap orang di setiap bangsa di dunia memiliki harapan untuk mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Setiap bangsa memiliki harapan agar generasinya ke depan menjadi generasi yang lebih maju dalam mengapresiasi segala potensi yang dimilikinya.

Disamping memiliki harapan sepertinya umat Islam di setiap Negara  memiliki masalah yang hampir sama, yakni masalah kemiskinan. Asumsi tersebut mengemuka dalam benak Dogol karena sering sekali Dogol melihat beberapa orang dari etnis yang berbeda melakukan tawaf dengan menenteng sandal di tangannya (diluar kelaziman yang biasanya membawa tasbih, buku doa atau Al Qur’an). Ritual  tawaf yang begitu mulia dengan janji Tuhan yang melipatgandakan pahala seratus ribu kali lipat ternyata tidak cukup untuk menafikan  ketakutan hilangnya sandal yang harganya mungkin tidak seberapa.

Dogol jadi teringat dengan kasus  hilangnya sandal di Masjid Kampung tempat dia melakukan shalat wajib. Menurut Dogol, hilangnya sandal di masjid menunjukkan masih ada  muslim yang memiliki mentalitas dan tingkat ekonomi yang sangat rendah.  Tuhan tampaknya memberikan teguran kepada pemilik sandal yang hilang untuk lebih memperhatikan mereka. Dan Tuhan tampaknya juga  memberikan teguran halus kepada para tamu-Nya yang datang berumroh atau berhaji untuk tidak sering-sering mengunjungi rumah-Nya dengan biaya puluhan juta rupiah sementara masih banyak muslim di daerah tempatnya tinggal yang masih kesulitan memenuhi  biaya pendidikan dan  biaya kesehatan keluarganya.

Sudah waktunya pengurus masjid dalam memanfaatkan dana masyarakat  tidak hanya digunakan untuk memperbagus masjid secara fisik tetapi juga memperbagus kehidupan dan  memberdayakan kaum miskin yang ada di lingkungan masjidnya masing-masing. Dan tampaknya untuk lebih membumikan pesan para wali yang menjadi slogan kota,  tidak salah jika pesan tersebut dipertajam menjadi  “ingsun titip tajug lan sendal jepit”.  Dengan ingatan sandal jepit tersebut diharapkan orang-orang kaya muslim bisa selalu ingat bahwa masih banyak saudara-saudara muslim yang tidak mampu untuk membeli sandal jepit (yang berguna  menjaga kesucian kaki mereka saat memasuki rumah Tuhan dalam keadaan perut kenyang serta kondisi fisik yang tidak ringkih). Wallahu’alam


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website