PDM Kota Cirebon - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Cirebon
.: Home > Artikel

Homepage

Kontroversi Fatwa Haram Golput

.: Home > Artikel > PDM
19 Maret 2012 20:22 WIB
Dibaca: 1919
Penulis : Sukardi

 

 “Jan apa bedae MUI karo MU ….?? ” tanya Dul Gepuk yang kebetulan sedang keranjingan sepak bola suatu hari.

“Ya jelas beda, baka  MU laka huruf ‘I’e lamun MUI ana huruf ’I’e ” jawab Lamsijan sembari keheranan atas pertanyaan Dul Gepuk.

“Ari jare sampeyan pripun mang …??” Tanya Dul Gepuk lagi kepada Ki Karbol.

“Sami mawon Puk…,  boten uning” jawab Ki Karbol.

”Dadi apa bedae Puk” tanya Lamsijan balik bertanya..

”Ari MUI bisa nonton MU tapi ari MU beli bisa nonton MUI” jawab Dul Gepuk.

”Sebabe apa bisa mengkonon ...., memange sapa MU iku ??” tanya Ki Karbol ikut penasaran.

”MU iku singkatane Manchester United, ari MUI iku singkatane Majelis Ulama Indonesia” jawab Dul Gepuk tanpa merasa bersalah.

”Ya eyalaaaah....., masa ya iya dong !!, pasti beda, ari MU kan sering manjing Tivi, ari MUI  kang manjing Tivi-e baka sewise gawe fatwa kang gawe keder” timpal Ki Karbol yang sedang ’uring-uringan’ karena dilarang merokok oleh istrinya gara-gara fatwa haram merokok beberapa hari lalu.

 

            Kebingungan Ki Karbol terhadap fatwa haram MUI, salah satunya fatwa haramnya  golput mungkin mewakili kelompok yang dalam pemilihan kepala daerah atau dalam pemilu legislatif merasa ’enjoy’ dengan statusnya sebagai ’golongan putih’. Asas LUBER –Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia- dalam pemilu tampaknya menemukan  momentumnya dengan kehadiran kelompok golput ini. Di beberapa pilkada yang telah berlangsung di sejumlah wilayah di Jawa Barat misalnya,  keberadaan  kelompok golput terlihat semakin signifikan, bahkan kalau saja golput ini dihitung sebagai suara sah dalam arti ikut serta sebagai kontestan dalam pemilihan, bisa jadi akan keluar sebagai pemenang.

            Fenomena munculnya golput dalam setiap pemilu yang kelihatannya menjadi tren dari para konstituen di republik ini tak urung menjadi kegelisahan beberapa elemen dan para aktifis demokratik atau lebih tepatnya para politisi beserta derivasinya (para tim sukses, simpatisan parpol, tukang bikin spanduk dan kaos, pengurus iklan di media masa baik  cetak  baik elektronik, para pengurus RT-RW yang berharap sumbangan dari para caleg untuk pengaspalan gang, dan pihak-pihak lain, baik yang diuntungkan secara material maupun spiritual). Dan  ternyata kegelisahan keberadaan golput ini tidak hanya milik institusi politik dan entitas bisnis, tapi juga institusi agama.

            Meluncurnya fatwa haram yang diluncurkan MUI (Majelis Ulama Indonesia) membuat para ’golput mania’ yang semula adem ayem dengan status yang disandangnya, untuk mulai  berpikir ikut menyoblos atau mencontreng gambar dan foto orang-orang yang tidak dikenalnya. Mereka harus mulai merekonstruksi paradigma individualistik-narsisme yang selama ini diyakini kebenarannya terkait dengan pemilu . Mereka harus mulai berpikir tentang statemen  Bapak Revolusi Indonesia Bung Karno yang meneriakan ”Right or wrong is my Country” ketika terjadi konvrontasi dengan negara dan bangsa lain yang mencoba mendikte tentang bagaimana sebaiknya republik  ini dijalankan.

 

Ada apa dengan Golput

            Politisi kawakan Ginanjar Kartasasmita ketika berkunjung ke Cirebon mengatakan bahwa fatwa haram golput yang dikeluarkan oleh MUI sepertinya tidak akan efektif untuk meredam kemunculan kembali golput dalam pemilu bulan April 2009 mendatang. Kemunculan golput bisa jadi karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga KPU, atau karena penggantian sistem contreng yang menggantikan sistem mencoblos. Golput muncul juga bukan karena sistem multi partai atau karena kriteria pemenang diambil dari suara terbanyak yang diperoleh, kemunculan golput terjadi lebih karena kekecewaan terhadap perilaku politisi, baik menjelang pemilihan maupun ketika mereka menjabat selama lima tahun di lembaga legislatif.

            Meski sebenarnya tidak semua politisi berperilaku buruk tetapi kultur golput yang berpegang teguh pada pendirian bahwa dalam sistem demokrasi yang menggabungkan antar sistem parlementer dan presidensial  wakil rakyat harus memiliki kriteria moral dan mental yang baik agar bisa dicapai kesejahteraan rakyat yang optimal. Seorang wakil rakyat harus menjadi contoh tauladan bagi masyarakatnya, seorang wakil rakyat dipersonifikasikan sebagai resi atau dewa dalam dunia pewayangan yang steril dari hal-hal yang berbau kecurangan material dan moral.

            Penggundulan hutan yang dilakukan oleh oknum wakil rakyat  bekerja sama dengan para kapitalis dan terungkapnya kasus aliran dana yang dilakukan oleh anggota legislatif yang masih aktif menjadikan munculnya pesimisme para golput atau calon golput terhadap masa depan negeri ini. Belum lagi para mantan wakil rakyat yang terlibat penggunaan narkoba serta melakukan perjudian seperti dilansir oleh media massa lokal Cirebon menambah deretan ’dosa’ para politisi.

            Idealisme golput yang menghendaki kualitas prima dari para politisi bisa dipahami mengingat Indonesia sudah melakukan pemilu berkali-kali. Perbaikan sistem terus dilakukan, anggaran pemilu terus dinaikkan, termasuk di dalamnya biaya trilyunan rupiah digelontorkan untuk membiayai keberadaan partai politik yang jumlahnya semakin banyak. Sempat muncul gagasan untuk melakukan pemilu untuk memilih semua pemimipin di setiap level pemerintahan, dari mulai Presiden, Gubernur hingga walikota/bupati, bahkan bila memungkinkan juga di tingkat desa. Tapi gagasan itu menguap seiring dengan ephoria dari para politisi untuk terus bermain-main dengan sistem demokrasi, ditambah lagi dengan soal-soal teknis yang rumit dan sulit dilakukan.

            Adagium yang tersebar luas di kalangan birokrasi saat melayani publik yakni ’jika bisa dipersulit mengapa dipermudah, jika bisa dilayani dengan biaya mahal kenapa harus dipermurah’, tampaknya sudah menjangkit di kalangan politisi. Bila dalam penyelenggaraan pemilu yang dilakukan secara parsial ada pendapatan sampingan kenapa harus dilakukan pemilu gabungan, toh rakyat juga senang dengan pembagian kaos dan sembako gratis yang dilakukan caleg menjelang pemungutan suara.

           

Ada apa dengan MUI

            Hujjatul Islam Syeh Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa eksistensi pemerintahan sebuah negeri adalah merupakan  keniscayaan. Sebuah pemerintahan yang bijaksana kepada rakyat serta kuat jauh lebih baik dari pada sebuah pemerintahan yang dholim-aniaya kepada rakyat dan lemah meski pemerintahan tersebut dipegang oleh non muslim. MUI sebagai lembaga agama yang hidup dan berada di tengah masyarakat mencoba menyikapi fenomena golput yang intensitasnya cukup mengkhawatirkan pada setiap pemilu. Berangkat dari argumen Syeh Ibnu Taimiyah di atas maka keputusan pengharaman golput dalam pemilu tampaknya sudah dipikirkan secara matang. Jika golput semakin banyak maka dikhawatirkan akan menghambat keberadaan pemerintahan di Indonesia. Sangatlah mustahil sebuah negara tanpa pemerintahan.

            Tapi pelarangan golput sampai pada tingkat haram tak urung mengundang reaksi dari beberapa kalangan. Sebagai institusi agama sebaiknya MUI lebih berhati-hati dalam memberikan fatwa berkenaan dengan dunia politik.  Sebelum pengharaman sebaiknya ditinjau ulang mengenai kriteria memilih dari perspektif hukum pemerintahan, merupakan hak atau kewajiban. Kalau masih berupa hak maka warga negara mempunyai dua pilihan antara menunaikan haknya atau melepas haknya.

            Prinsip tawazun atau keseimbangan dalam mengeluarkan fatwa perlu juga diperhatikan oleh MUI. Para ’golput mania’ sebenarnya mencoba melakukan ’pressure’ kepada partai politik dan para politisi untuk memperbaiki kinerjanya –terutama kinerja moral- dalam berpolitik. Dana dan segala fasilitas yang diberikan rakyat melalui pemerintahan bukan tanpa kontra prestasi, tercapainya kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara yang penuh etika moral menjadi harapan para golput. Sehingga fatwa haramnya golput harus disertai dengan fatwa haramnya memilih politisi busuk, termasuk di dalamnya fatwa rekrutmen caleg yang dilakukan oleh partai politik untuk tidak memasukkan para koruptor, para pelaku illegal logging, pemakai narkoba, penjudi.

            Fatwa haramnya golput jika diimbangi dengan fatwa yang ditujukan kepada partai politik dan politisi yang disosialisasikan secara intens akan lebih memiliki ’greget’ bagi peningkatan kualitas kehidupan demokrasi. Tidak akan ada lagi sikap saling menyalahkan antara pihak legislatif dan eksekutif ketika terjadi kelangkaan minyak tanah, tidak ngocornya air PDAM, adanya kelambatan penyusunan anggaran, dan kepentingan rakyat lain yang bersifat mendesak.

            Tapi tampaknya para ’golput mania’ dan juga para politisi akan bersikap seperti Ki Karbol dalam menyikapi fatwa MUI. Karena seperti yang dijelaskan oleh pengurus  MUI sendiri bahwa fatwa mereka bersifat tidak mengikat, artinya ’suka-suka sampeyan’. Bahkan setiap MUI di setiap daerah dipersilahkan untuk mengambil fatwa sendiri yang bersifat lokal maupun nasional, dan boleh saja berbeda anatara MUI satu daerah dengan daerah lainnya karena ’perbedaan diantara umat Islam merupakan rahmat’ selama perbedaan itu  tidak menimbulkan konflik atau peperangan fisik. Persoalan apakah perbedaan itu akan membingungkan umat Islam yang awam kemudian karena bingungnya mereka akhirnya ikut ke Agus Solihin dengan aliran Satrio Piningit yang melakukan akitifitas sex dalam ritual ajarannya, atau masuk ke komuntas Eden, itu bukan urusan MUI.

            Ki Karbol yang sedang kesal karena tidak boleh merokok itu akhirnya memilih membaca artikel yang berjudul ’MU sang kandidat juara Liga Champion’ daripada membaca yang berisi ’ilat’ atau alasan mengapa MUI mengharamkan rokok. Di tangannya terselip sebatang rokok Djarum filter yang baru dibelinya dari warung yang pemiliknya kebetulan menjadi pengurus Masjid.


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website