PDM Kota Cirebon - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Cirebon
.: Home > Artikel

Homepage

Lonceng Kematian Pendidikan

.: Home > Artikel > PDM
28 Desember 2011 13:56 WIB
Dibaca: 2441
Penulis : Sukardi

 

‘Kalau saja ada lembaga independen di bidang pendidikan yang mencoba menginvestigasi sistem penerimaan peserta didik baru di seluruh dunia maka Kota Cirebon pasti akan memperoleh peringkat paling semrawut’, gerutu Dogol sambil melempar Koran Kabar Cirebon di halaman depan rumah salah seorang pelanggannya. Pekerjaannya sebagai loper Koran memang ‘memaksa’ nya harus membaca berita-berita hangat yang dimuat dalam media cetak lokal, dan beberapa hari ke belakang mass media lokal memang banyak memuat komentar dari mulai kalangan birokrat, politisi, LSM, ormas kepemudaan. Dan dari obrolan beberapa teman sesama tukang koran, ternyata penjual jasa memasukkan siswa baru juga tidak hanya dari kalangan orang-orang terhormat tetapi juga ternyata yang berprofesi sebagai tukang becak (yang biasa mangkal di sebuah SD) pun ikut bermain.

Dari para pelanggan Koran yang kebetulan terlibat menjadi panitia pendaftaran peserta didik baru (PPDB), dan dikuatkan dengan informasi  para orang tua yang memasukkan anaknya diketahui cerita lucu sekaligus mengharukan, ada seorang pendaftar yang diterima di sekolah pilihan ke 2 dan sempat ikut MOS hari pertama, tapi hari-hari berikutnya tidak pernah datang.  Munculnya malah di sekolah pilihan ke 1 yang awalnya tidak diterima. Dan banyak lagi kisah lucu PPDB yang tidak pernah terpikirkan terjadi pada PPDB tahun-tahun sebelumnya.

Jika dianalogikan dengan penyakit kanker, maka penyakit PPDB tahun ini sudah masuk ke stadium empat. Virusnya telah menyebar ke seluruh tubuh, semua kalangan ‘ikut bermain’ dalam PPDB dengan berbagai alasan yang absurd. Dari mulai kompensasi politik kepada konstituen pasca pilkada, menanamkan image atau opini publik sebagai partai pembela rakyat, balas budi pengangkatan jabatan birokrasi, intimidasi dan ketakutan dicopotnya jabatan, sampai kepada hal-hal yang berbau uang haram (dalam perspektif materialisme marxis uang harum ini diterjemahkan sebagai ‘uang harum’ karena bisa meningkatkan daya beli).

PPDB online yang digagas oleh komisi C  sebenarnya bukan hal baru. Sekolah berstandar internasional  yakni SMP 1, SMP 5, SMA 1 dan SMA 2 sudah memulainya. Tapi tahukah komisi C bahwa kelucuan tetap saja terjadi, masih ada siswa  yang orang tuanya memiliki kekuatan loby dan uang bisa menembus sistem online RSBI tersebut. Tanpa tes seorang siswa SMP  bisa masuk ke SMA 1, setelah ikut MOS beberapa hari di SMA 1 kemudian merasa tidak cocok, tiba-tiba dia muncul di SMA 2 minggu berikutnya. Kasuistis memang sifatnya, tapi dari sini bisa terlihat bahwa sistem online tidak steril terhadap kecurangan ?

 

Dana APBD.

 Yang agak mengejutkan Dogol adalah rencana dikucurkannya dana APBD untuk memfasilitasi sarana PPDB on line di sekolah-sekolah negeri.  Entah berapa ratus juta dana rakyat ini akan dianggarkan dalam rangka menyiapkan perangkat software dan hardware, sementara dalam pikiran Dogol yang sederhana kemungkinan sistem online akan bernasib sama dengan sistem sekarang ini. Sehebat apapun sistem yang digunakan kalau kultur relasi subordinasi atau kooptasi antara pelaksana PPDB di pihak sekolah dengan pejabat diknas plus politisi tidak dibenahi maka tidak akan bisa berjalan. 

Pernahkan anggota dewan berpikir bahwa masyarakat sekarang sudah demikian cerdas dan penuh siasat. Aturan kuota 10% dari luar kota misalnya, hanya efektif pada tahun pertama. Pada tahun kedua para orang tua calon peserta didik yang kebetulan berada di wilayah kabupaten Cirebon rata-rata sudah mengantongi Kartu Keluarga Kota.

Para calo pembuat  Kartu Keluarga aspal (asli tapi palsu)  berkeliaran di depan sekolah-sekolah negeri, dengan uang hanya Rp.50.000,00, orang tua calon siswa yang berasal dari luar kota Cirebon bisa memperoleh Kartu Keluarga kota dalam hitungan menit. Praktek jual beli Kartu Keluarga ini demikian kasat mata dan dilakukan di depan publik. Dogol bersyukur menjadi rakyat jelata dengan status penjual Koran sehingga bisa mengamati segala persoalan sosial yang terjadi. Praktek menyiasati kuota 10% ini berlangsung karena adanya simbiose mutualisme antara kapitalisme di satu sisi dan ketakutan tidak diterima pada sisi yang lain.  Dan  masyarakat pun tampaknya sudah tidak lagi punya sense of belonging terhadap soal-soal peraturan, hukum,  atau kepatutan sosial. Bisa jadi  tIngginya tingkat korupsi atas dana-dana yang dilakukan para pejabat dan para politisi tampaknya sudah mengubah orientasi masyarakat, dari masyarakat yang menghargai nilai-nilai luhur berbangsa dan bernegara menjadi masyarakat yang apatis, egois, pragmatis, dan abai terhadap kejujuran.  Budaya patron yang berkembang di masyarakat  menganggap para pejabat atau pollitisi sebagai orang pintar yang perlu ditiru perilakunya ternyata memperoleh momentumnya.

Simbiose mutualisma yang terjadi antara pemesan kartu keluarga dengan para calo pembuat kartu keluarga aspal juga membuat praktek ini berlangsung tanpa hambatan.  Sementara validasi yang dilakukan oleh panitia PPDB juga sebatas formalitas. Simbiose mutualisma juga terjadi dalam praktek kecurangan ujian nasional tahun ini antara orang  tua siswa dengan pihak sekolah. Untuk menaikkan gengsi daerah dilakukan intrik-intrik kotor untuk menggolkan 100% kelulusan. Sehingga tidak heran banyak siswa yang dalam kesehariannya mendapatkan ulangan dengan nilai rata-rata rendah tetapi mendapatkan nilai maksimal (atau 10)  dalam ujian nasional. Orang tua tidak  pernah menggugat (bahkan bersyukur) anaknya mendapat nilai  tinggi meski paham benar kalau anaknya memiliki kemampuan pas-pasan. Pihak sekolah bangga dengan 100% lulus, para birokrat senang karena peringkat daerahnya terdongkrak. Persoalan anak-anak yang lulus kehilangan orientasi kejujuran, tidak kompetetif, dan kemungkinan filsafat machieveli yang menghalalkan segala cara menjadi panutan tidak pernah dipertimbangkan.

 Ketika proses pelulusan melalui ujian nasional  yang penuh intrik serta kecurangan dan proses penyaringan input dalam PPDB yang juga tidak mempertimbangkan kualitas dan kepatutan, maka tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari sekolah sebagai pusat perubahan budaya konstruktif masyarakat. Sekolah hanya akan menelurkan ‘bebek-bebek pendidikan’ yang bermental pengekor tanpa akal budi,  pengecut dan koruptif. Sekolah hanya meluluskan orang-orang cerdas secara intelektual tapi abai terhadap nilai-nilai ketuhanan.

 

Political Will

            Sebagai rakyat kecil Dogol percaya bahwa selalu ada orang-orang di kalangan birokrasi dan politisi  yang berdiri di atas kebenaran. Mereka adalah orang-orang yang selalu mencukupkan diri dengan gaji atau honor yang didapat secara halal. Tidak peduli godaan materi berupa uang pelicin, suap  atau apapun istilahnya dari proses PPDB yang begitu besar (menurut hitungan kasar Dogol, jika diakumulasi mencapai miliaran rupiah). Mereka peduli terhadap kualitas generasi dan perbaikan mentalitas masyarakat yang cenderung kian memprihatinkan (merebaknya tawuran antar kampong, fenomena gang motor, pemakaian pil dekstro, merebaknya terorisme dan hal-hal destruktif lainnya).

            Validasi data nilai pendaftar, keabsahan kartu keluarga  pendaftar kalau memang kuota 10% masih diberlakukan, tekanan  para politisi (beserta kroninya) dan  birokrat, adalah beberapa kendala yang harus dihadapi sekolah  negeri dalam PPDB sistem on line. Beranikah kepala sekolah melawan intimidasi atau kooptasi dari berbagai pihak yang akan meruntuhkan sistem yang disebut-sebut sebagai sistem yang paling handal dan telah disetujui oleh para pengelola sekolah swasta sebagai pihak yang akan terkena imbas. Atau palking tidak,  bisakah para politisi dan birokrat menahan diri untuk tidak ikut campur dalam mekanisme PPDB. Kalau tidak, maka lonceng kematian pendidikan kota wali tinggal menunggu waktu.


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website