PDM Kota Cirebon - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Cirebon
.: Home > Artikel

Homepage

Menyingkap Tabir Geng Motor

.: Home > Artikel > PDM
07 Mei 2012 07:11 WIB
Dibaca: 2418
Penulis : Sukardi

 

Sejarah geng motor di Indonesia ternyata  sudah lebih dari dua dekade usianya, dengan Kota Bandung sebagai porosnya. Eksistensi mereka rata-rata dimulai dari sekelompok siswa SMA yang memiliki hobi yang sama di bidang otomotif dan balapan. Dari beberapa situs internet ditengarai keberadaan geng motor ini mulai tumbuh sejak awal tahun 1980 an, bahkan salah satu situs menyebutkan bahwa keberadaannya telah ada sejak tahun 1978.

Bandung dikatakan sebagai poros karena hampir semua geng motor yang sekarang eksis dan berkembang di beberapa kota di Jawa Barat,  lahir dan besar di Kota ini. Sebut saja misalnya, Moonraker, sebuah geng motor yang namanya terinspirasi oleh judul film James Bond. Atau XTC (Excalt To Coitus) ,  GBR (Grab on Road) dan Brigez (Brigade Zeven) yang mempunyai anggota puluhan ribuan orang.   

Dari informasi yang berhasil dikumpulkan,  motif awal pendirian hampir semua geng motor memiliki kesamaan, yakni menjadi ajang berkumpul dan menyalurkan hobi. Tapi pada perjalanan berikutnya, seiring dengan perkembangan dunia politik, bisnis dan ekonomi,  geng-geng motor bertransformasi  menjadi kelompok yang bisa disebut sebagai kelompok radikal yang anti sosial dan anti kemapanan.

Jika pada awal pendiriannya, rata-rata anggotanya berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas (karena di tahun 80 an, kepemilikan motor beserta asesorisnya memerlukan biaya yang cukup tinggi), maka memasuki era tahun 2000 keanggotaan geng motor kian meluas. Hal tersebut  dipicu oleh  booming penjualan motor yang terjadi di tanah air. Dengan hanya uang 500 ribu setiap orang bisa memperoleh sebuah motor baru dari perusahaan leasing.

Meluasnya keanggotaan geng motor di kalangan remaja dengan beragam latar belakang ekonomi mengakibatkan berubahnya orientasi ideologis para anggota geng. Kelompok yang semula merupakan sekumpulan remaja yang memiliki kesamaan di bidang otomotif dan balapan, bertransformasi menjadi kelompok  yang setiap beraktivitas selalu menimbulkan kerusakan.

Jika dulu perampasan motor dilakukan terhadap lawan kelompok sesama  geng motor kemudian membakarnya beramai-ramai untuk melampiaskan kemarahan (bukan untuk dimiliki) , tetapi  sekarang perampasan dilakukan untuk kepentingan ekonomi (dijual).  Jika dulu serangan fisik dilakukan terhadap lawan kelompok, saat ini serangan dilakukan secara membabi buta,  teradap siapapun yang ada di jalanan. Tak urung beberapa nyawa tak bersalah melayang akibat ulah para geng motor (masih segar dalam ingatan,  perbuatan kriminal  para anggota geng motor yang membantai  seorang petugas keamanan bank yang melintas jalan Dr. Cipto pada tengah malam beberapa bulan yang lalu).

 

Disorientasi sosial

Bermetamorfasanya kelompok-kelompok geng motor yang semula merupakan kelompok hobi di bidang otomotif dan balapan menjadi kelompok yang menebar ancaman bagi ketentraman masyarakat tak lepas dari imbas carut marutnya sistem sosial politik dan keamanan pasca lengsernya rezim orde baru. Hegemoni yang diciptakan rezim ini di berbagai bidang kehidupan selama lebih dari tiga dekade mengalami titik kulminasi. Euforia terbebasnya masyarakat dari berbagai macam tekanan harus dibayar mahal.

 Desakan untuk diberlakukannya otonomi daerah ternyata tidak membuat rakyat semakin sejahtera. Jika dulu korupsi bermuara  di birokrasi pemerintah pusat, sekarang menyebar dengan kecepatan fantastis di hampir setiap daerah otonomi. Sebagian besar  kepala daerah di Indonesia menghadapi kasus penyelewengan dana rakyat setelah lengser dari jabatannya. Jajaran penegak hukum yang seharusnya berdiri tegak di atas keadilan justru beramai-ramai mengkhianati amanat hanya karena lembaran uang haram. Koruptor yang menyengsarakan jutaan rakyat dihukum 2 atau 3 tahun dan diberikan remisi  18 bulan, sementara pencuri ayam karena desakan kebutuhan hidup keluarga diganjar 4 tahun.

Sebagian dari anak-anak muda era reformasi, terutama dari keluarga yang orang tuanya abai terhadap perkembangan psikologi anak,  mengalami disorientasi sosial. Mereka kebingungan  dalam melakukan identifikasi perilaku yang positif di tengah masyarakat, terutama dalam menumbuhkembangkan solidaritas.  Mereka kehilangan figur  tokoh yang bisa dijadikan teladan bagi kehidupan bermasyarakat. Akhirnya mereka mengambil tokoh-tokoh dari luar Indonesia yang dianggap ‘lebih jujur’ (baca: tidak munafik alias apa adanya), sehingga tidak heran penamaan kelompok geng motor cenderung tidak menggunakan idiom-idiom Indonesia seperti  Ketoprak, Blekutak, Bakiak atau Pitak misalnya. Style atau gaya serta perilaku kekerasan yang kerap ditayangkan media film pun mereka adopsi bulat-bulat.

Bisa jadi bergabungnya beberapa anak muda  dalam geng motor yang sarat dengan kekerasan merupakan bentuk protes  dan ekspresi kekecewaan mereka terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial budaya serta hukum yang amburadul. Indikasinya terlihat pada keberanian mereka menyerbu suatu kampung atau melawan aparat ketika eksistensi mereka diganggu. 

 

Pendekatan kultural

            Keberadaan geng motor sebenarnya secara sosiologis berfungsi sebagai ‘penyeimbang’ bagi kehidupan sosial kemasyarakatan, bahkan secara psikologis bisa  berfungsi sebagai ‘katup pengaman’ bagi kemungkinan  terjadinya kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang lebih besar. Geng motor bisa jadi merupakan side effect dari perilaku anti sosial destrtuktif yang diperagakan oleh para pejabat pemerintah. Atau beberapa orang diantara mereka ada yang kecewa dengan kondisi atau iklim rumah yang jika terus dipikirkan akan membuat mereka gila, atau mengambil jalan pintas dengan membunuh diri.

Berkumpulnya mereka dalam suatu komunitas sosial (seburuk apapun kondisinya) masih lebih baik dibandingkan membuat bom dan meledakkannya di tempat ibadah. Menyalahkan mereka sepenuhnya jelas bukan merupakan tindakan yang bijak. Bagaimanapun mereka adalah bagian dari masyarakat dan memiliki hak untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik.  Perilaku kekerasan yang diperagakan mereka menunjukkan ada yang salah pada sistem sosial masyarakat kita karena diakui atau tidak  kelompok geng motor merupakan produk masyarakat yang, suka atau tidak suka harus diterima keberadaannya.

Keberadaan mereka juga menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan ekstra sekolah ( bahkan sekolahnya itu sendiri),  atau kelompok-kelompok sosial dan kelompok keagamaan yang ada di masyarakat tidak lagi menarik bagi mereka. Pendekatan yang dilakukan masih menggunakan cara-cara lama,  sementara mereka merupakan orang-orang yang ‘berkebutuhan khusus’ yang memerlukan bentuk kelompok atau pendekatan  yang ‘khusus’ pula.  

Membubarkan kelompok mereka tanpa diiringi dengan menyediakan sarana untuk menyalurkan hasrat mereka di bidang balapan, misalnya menyediakan sirkuit insidental  atau event-event khusus di bidang otomotif lainnya merupakan hal yang sia-sia.  Hal tersebut bisa diawali oleh perusahaan-perusahaan yang menangguk untung di Cirebon melalui program-program Corporate Social Responsibility-nya dengan  menggulirkan dana untuk keperluan-keperluan seperti itu.

Last  but not least,  aparat kepolisian harus  mulai serius untuk melakukan ‘penanganan konstruktif’ terhadap geng-geng motor dengan menyusupkan intel-intel yang direkrut dari lulusan SMA yang relatif masih muda. Berupaya  mempersempit ruang gerak para panglima geng yang berstatus residivis  dalam mempengaruhi para anggota geng lain yang rata-rata masih berstatus pelajar.  Bukan hanya sekedar mengadakan upacara seremonial ‘pembubaran’ geng motor atau bertindak tergopoh-gopoh setelah ada laporan  warga yang diserang. Peace …… !!!


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website