PDM Kota Cirebon - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Cirebon
.: Home > Artikel

Homepage

Ujian Nasional dan Anomali Logika Birokrasi

.: Home > Artikel > PDM
09 Mei 2012 21:16 WIB
Dibaca: 2000
Penulis : Sukardi

 

Suatu pagi dalam  sebuah pertemuan para orang tua siswa kelas 9 dengan para guru beserta kepala sekolah di sebuah kota di  Indonesia. Dalam pidato sambutannya sang kepala sekolah dengan gagah dan tanpa merasa sedikitpun perasaan  bersalah menyampaikan pidato, bahwa para orang tua tidak usah cemas dengan kelulusan anak-anaknya. Tingkat kelulusan dijamin 100%, yang paling penting sekarang orang tua menyediakan dana untuk pengayaan anak-anaknya sekian ratus ribu rupiah yang digunakan untuk membayar para guru . Tentang kesulitan anak-anak dalam mengerjakan UN nanti pihak sekolah telah mengantisipasi dengan membuat tim sukses yang terdiri dari para guru yang bekerja pada saat ujian berlangsung nanti.  

Suatu pagi di hari yang berbeda dalam sebuah pertemuan antara pejabat dinas dengan para guru dan kepala sekolah, masih di kota yang sama. Sang pejabat bercerita tentang delapan bidadari yang turun di bumi untuk menyaksikan pelaksanaan ujian nasional. Karena terlalu memikirkan dan iba terhadap kelangsungan pendidikan anak-anak Indonesia, tujuh dari delapan bidadari tersebut akhirnya lupa ingatan alias menjadi gila. Dan ujung dari kegilaannya ketujuh bidadari tersebut  membisikan kunci jawaban ujian kepada anak-anak peserta ujian. Mendadak pejabat itu bertanya kepada para audiens yang hadir, mana sebenarnya dari ke delapan bidadari itu yang gila. Secara retoris pejabat itu menjawab, dalam suatu komunitas yang mayoritas mengidap kegilaan maka yang tidak gila itulah yang dianggap ‘gila’. Lebih lanjut dia berkata, bahwa dia tidak mengajak para guru untuk berbuat gila tapi dihimbau untuk memikirkan kisah bidadari yang gila tersebut demi tercapainya prosentasi kelulusan 100%.

Apa yang terbesit dalam pikiran para pembaca setelah membaca kedua kisah di atas ? Apa yang akan dilakukan oleh para orang tua kelas 9 yang diiming-imingi anaknya pasti lulus karena ada tim sukses yang dibentuk oleh kepala sekolah dan membayar biaya pengayaan ratusan ribu untuk pengayaan (kamuflase) ? Jika anda sebagai guru, apa yang harus anda lakukan menghadapi situasi seperti di atas ? Salahkah pemerintah tetap menjalankan ujian nasional sebagai standar kelulusan ?

Keputusan pemerintah untuk meneruskan ujian nasional (UN) yang menjadi standar kelulusan bagi sebuah jenjang pendidikan bukan tanpa alasan. Seiring dengan diimplementasikannya otonomi daerah (yang berdampak pada otonomi pendidikan), pemerintah perlu melakukan pemetaan sekaligus standarisasi pendidikan. UN dipandang salah satu cara efektif untuk mengukur kedua hal tersebut. Dan tampaknya pemerintah memahami betul tentang side effect dari diberlakukannya nilai UN sebagai syarat kelulusan. Kesan ‘pembonsaian’ yang dilakukan pemerintah kepada para guru yang telah mendidik siswa selama bertahun-tahun tampaknya juga telah diperhitungkan.  Jerih payah para siswa belajar selama tiga tahun hanya ditentukan oleh enam mata pelajaran dengan menitikberatkan kepada aspek kognitif juga tidak dapat dielakkan.

Sebagai otoritas tertinggi di Republik ini, tampaknya pemerintah sudah bertekad bulat untuk memperbaiki kualitas pendidikan yang jauh tertinggal dari negara lain di Asia, side effect yang ditimbulkan UN, seiring dengan berlalunya waktu, akan lenyap dengan sendirinya. Tapi pemerintah mungkin tidak memperhitungkan kemungkinan munculnya kisah pidato kepala sekolah yang menjamin kelulusan 100% para siswanya kepada para orang tua. Pemerintah lupa akan munculnya tujuh bidadari yang gila tapi dianggap waras sementara seorang bidadari waras dianggap gila dalam analogi pelaksanaan UN.

Pemerintah lupa bahwa kemungkinan bidadari yang waras itu juga akan menjadi gila karena terus memikirkan kewarasan otaknya diantara komunitas bidadari yang telah menganggap sebuah kegilaan menjadi suatu yang lumrah. Tapi ketika pemerintah ngotot melaksanakan UN ketika mahkamah konstitusi memenangkan gugatan para siswa yang tidak lulus dengan dalih akan memperbaiki system UN maka besar kemungkinan pemerintah juga sudah tahu akan kemungkinan-kemungkinan merebaknya perilaku terpuji yang dilakukan oleh para pekerja pendidikan tersebut di atas.

Dan jika ditelisik lebih lanjut, tampaknya pemerintah masih mempercayai bahwa selama guru sebagai kelompok orang yang berdiri di garda terdepan masih memiliki kualitas paedagogis dan kualitas moral yang baik maka semua kecurangan dalam UN akan bisa dieliminir. Untuk mempertahankan kualitas mendidik dan kualitas mental guru agar tidak mau diajak berkolaborasi untuk merusak hasil UN,  tidak tanggung-tanggung pemerintah mengucurkan tunjangan profesi (sertifikasi) yang besarnya satu kali gaji kepada para guru.

Pemerintah berharap banyak kepada para guru agar UN bisa menjadi ajang peningkatan kualitas pendidikan bagi para peserta didik. Dengan gaji yang besar maka diharapkan guru bisa meningkatkan kualitas pengajarannya kepada para siswa sehingga para siswa bisa memiliki standar kompetensi lulusan (SKL) yang telah ditentukan. Para siswa kelas 3 bisa mengerjakan soal-soal UN dengan baik dan benar, para bisa dibimbing untuk memiliki mental pantang menyerah dalam mempelajari dan menghadapi suatu kondisi yang problematis. Bahwa hasil yang diperoleh sesuai dengan kerja keras yang ditekuninya.

Dengan gaji yang besar,  pemerintah juga berharap para guru memiliki tanggung jawab moral yang dalam mewujudkan Indonesia bersih, terutama dalam bidang pendidikan. Para guru sanggup berkata tidak kepada kepala sekolah atau birokrat pendidikan lainnya ketika disuruh menjadi bagian dari tim sukses yang menjawab soal-soal dalam pelaksanaan UN untuk diberikan kepada para siswa.

 

Mengubah paradigma pendidikan

Harapan masyarakat kepada institusi sekolah, wa bil khusus kepada para guru tampaknya juga tidak main-main. Tidak ada elemen masyarakat dari komunitas manapun yang melakukan gugatan keberatan saat pemerintah memutuskan memberikan tunjangan sertifikasi sebesar satu kali gaji kepada para guru. Seluruh rakyat mendukung penuh dan rela sebagian kekayaannya melalui pajak disalurkan kepada para guru demi meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia.

Rakyat tidak rela bila para guru menebar racun marxisme kepada para anggota keluarganya yang sedang mengenyam pendidikan di sekolah dengan memberikan jawaban UN kepada para siswanya. Dalam jangka pendek bisa saja para siswa terbantu dalam kelulusan UN tapi dalam hal justru guru yang memberikan jawaban melakukan ‘pembunuhan karakter’ para siswanya. Akan terbentuk pola pikir para siswa bahwa untuk mencapai sukses bisa menghalalkan segala cara. Kelak jika mereka dewasa dan menduduki posisi di masyarakat akan berbuat sewenang-wenang/curang atau memperkaya diri dari uang rakyat.

 Keberadaan UN bagi para siswa bisa dijadikan pintu masuk bagi pembinaan mental bagi segenap pekerja pendidikan. Mengubah paradigma pendidikan yang berorientasi masa lalu dan rentan terhadap tantangan menjadi pendidikan yang visioner dan mampu menjawab tantangan/kesulitan hidup dalam bentuk apapun. Pendidikan Indonesia harus mampu mencetak insan yang berani untuk mengambil risiko untuk mencapai sukses bangsanya, bukan pendidikan yang ‘cengeng dan melankolis’, yang ketakutan ketika pemerintah melakukan standarisasi, takut menghadapi kegagalan dan ketakutan-ketakutan yang anti produktif lainnya.

Guru yang masuk ke dalam tim sukses di suatu sekolah dalam pelaksanaan UN untuk memberikan jawaban kepada soal siswanya bisa disebut sebagai pengkhianat pendidikan. Mereka mengkhianati sumpah jabatannya sebagai guru yang tugas pokoknya menanamkan nilai-nilai moral yang luhur. Guru yang membantu para siswanya adalah guru yang tidak menghargai harkat dan martabat serta potensi siswa dalam menjawab persoalan-persoaln kehidupan mereka.  Guru yang mengkhianati profesinya adalah guru yang pragmatis sejati yang menafikan nilai-nilai Ketuhanan. Mereka tidak sadar bahwa perbuatannya itu diketahui oleh para malaikat dan Tuhan.

Indonesia bersih yang menjadi program pemerintah terasa sia-sia manakala sekolah sebagai agen perubahan social justru mengajarkan nilai-nilai kotor yang jauh dari profesionalitas dan religiusitas. Nama baik sekolah (karena lulus 100%) menjadi nomor satu sementara persoalan moralitas yang menjadi ciri utama sebuah proses pendidikan diabaikan. Istitighosah yang dilakukan institusi sekolah menjelang pelaksanaan UN sebaiknya tidak hanya mendoakan para siswanya lulus tapi juga memohon kepada Tuhan agar para guru yang masuk tim sukses tahun-tahun yang lalu memperoleh hidayah untuk tidak mengulangi lagi perbuatan kotornya tersebut.

Biarkan para siswa berjuang dengan kekuatannya sendiri, nilai-nilai perjuangan mereka saat pembelajaran pengayaan serta situasi tegang saat UN akan menjadi pupuk penyubur bagi tumbuhnya mentalitas tahan guncangan dan pantang menyerah dalam menghadapi  belantara masa depannya kelak. Semoga…..


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website