PDM Kota Cirebon - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Cirebon
.: Home > Artikel

Homepage

Utopia Negara Demokrasi Banci

.: Home > Artikel > PDM
17 Desember 2011 12:27 WIB
Dibaca: 2264
Penulis : Sukardi

 

Secara umum, demokrasi yang dikembangkan negara-negara di dunia ini terbagi atas tiga jenis, ujar Profesor Dogol ketika memulai kuliah perdananya di sebuah perguruan tinggi kota tumaritis. Yang pertama adalah negara benci demokrasi, kedua negara demokrasi sejati dan ketiga adalah negara demokrasi banci.

Negara benci demokrasi biasanya dipimpin oleh seorang penguasa yang menjadikan dirinya sebagai sumber hukum, bahkan  menjadikan dirinya sebagai hukum itu sendiri. Tidak ada pembagian kekuasaan antara legislatif, eksekutif  maupun yudikatif. Sumber-sumber keuangan negara dan penggunaannya dikuasai oleh seseorang atau satu kelompok politik. Rakyat yang hidup di negara benci demokrasi relatif damai, atau tepatnya berusaha untuk selalu merasa damai, meski hak-hak dasar berbangsa dan bernegara  secara individual tidak diakui. Kehidupan ekonomi rakyatnya tergantung pada kekayaan alam yang dimiliki negara dan ‘kebaikan hati’ dari sang penguasa.

Negara demokrasi sejati dipimpin oleh seorang presiden sebagai representasi lembaga eksekutif, sementara keberadaan lembaga legislatif dan yudikatif relatif kuat mengimbangi kekuasaan presiden. Lembaga legislatif membuat garis kebijakan yang harus dilaksanakan oleh presiden sedangkan lembaga yudikatif melakukan kontrol atas pelaksanaan kebijakan tersebut sekaligus melakukan pemberian sangsi berupa hukuman penjara kepada para pejabat eksekutif maupun legislatif yang berperilaku menyimpang. Hukum di negara demokrasi sejati juga berjalan dengan baik, doktrin “justice for all” mendapatkan afirmasi dan  apresiasi dari segenap warganya. Media massa pun berfungsi secara optimal dan menjadi pilar keempat setelah lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam mengawal implementasi demokrasi.

Produktivitas rakyat di negara demokrasi sejati relatif lebih makmur di bandingkan negara benci demokrasi. Meski sumber daya alamnya terbatas tapi karena setiap warga memiliki kebebasan dalam mengekspresikan hak ekonominnya maka setiap warga seperti mendapatkan tantangan untuk selalu lebih sejahtera. Bisa ditebak, pertumbuhan ekonomi rata-rata negara sejati akan terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Ekonomi kerakyatan yang bentuk konkretnya lembaga perkoperasian bisa berdampingan, baik secara skala usaha maupun profitabilitasnya dengan ekonomi kapitalis. Ekonomi kerakyatan atau ekonomi kapitalis hanyalah pilihan bentuk, sementara spiritnya sama yakni menggapai laba dan membayar pajak dalam rangka memberikan tunjangan sosial bagi mereka yang tidak mampu.

 

Negara Demokrasi Banci

Sama seperti negara demokrasi sejati, negara demokrasi banci pun dipimpin oleh seorang presiden sebagai pimpinan lembaga ekeskutif dengan institusi legislatif dan yudikatifnya. Hanya saja dalam  aplikasi dan implementasinya, negara demokrasi banci cenderung banyak mengalami anomali. Kerap terjadi tumpang tindih peran, atau saling melempar kesalahan jika terjadi deadlock dalam pengambilan keputusan bersama tentang sesuatu anggaran. Peraturan yang ada di negara demokrasi cenderung sengaja dibuat untuk kemudian dilanggar.

Yang paling sederhana misalnya ketika terjadi proses penerimaan peserta didik baru yang lazim terjadi setiap awal tahun ajaran baru. Peraturan penerimaan peserta didik baru  dibuat oleh pimpinan eksekutif, maka yang  melanggar peraturan tersebut adalah juga dari pihak eksekutif (ditambah lagi oleh pihak legislatif yang berfungsi sebagai “penyeimbang”). Dan ketika banyak masyarakat yang beraudiensi mengeluhkan penyimpangan dalam sistem penerimaannya maka jawaban  pihak legislatif sebagai representasi rakyat  hanyalah senyuman kecut. Atau tentang  pembuatan budget pendapatan belanja daerah yang berujung pada ketidakjelasan pemakaiannya dengan berlindung pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang juga cenderung di-banci-kan (baca: dipelintir) sehingga substansi penyelewengan dananya menjadi sah secara hukum.

Penegakan hukum di negara demokrasi banci pun cenderung ikut banci. Berbeda dengan sistem hukum di negara demokrasi sejati yang menggunakan juri atau kumpulan orang dalam menentukan vonis, maka dalam demokrasi banci otoritas hakim demikian menentukan. Jual beli kasus kerap terjadi, bahkan ada sinisme di kalangan masyarakatnya bahwa KUHP adalah akronim Karena Uang Habis Perkara. Hukum hanya milik orang kaya yang bisa menyewa pengacara dan menyuap jaksa atau hakim, sementara LBH (Lembaga Bantuan Hukum) hanya menjadi cerita penggembira para penggembala hukum.

Adanya vonis yang telah dijatuhkan hakim terhadap terdakwa tetapi sang terdakwa masih bebas melenggang alias tidak menginap di hotel prodeo menjadi buah bibir. Ketidaktahuan masyarakat tentang bidang kerja lembaga hukum membuat institusi kepolisian menjadi bulan-bulanan masyarakat. Kepolisian dinilai tidak berani meringkus terdakwa yang telah divonis, padahal kewenangan tersebut sudah ada pada pihak kejaksaan/pengadilan. Tugas kepolisian hanya sebatas membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan) untuk dilimpahkan kepada pihak kejaksaan untuk proses persidangan lebih lanjut.

Kepolisian di negara demokrasi banci memang memprihatinkan, dengan rasio jumlah personal dan jumlah masyarakat  jauh dari ideal sepertinya tidak mungkin bisa bekerja optimal. Dengan biaya operasional yang terbatas, kepolisian dituntut untuk dapat menangani kasus-kasus kejahatan ‘kerah biru’ yang berisiko kehilangan nyawa dan kasus kejahatan ‘kerah putih’ yang berisiko kehilangan jabatan. Tapi anehnya setiap dibuka pendaftaran atau lowongan  untuk berkarier menjadi polisi, animo generasi muda selalu bertambah setiap tahunnya. Tampaknya wibawa seragam coklat ditambah dengan sepucuk senapan di pinggang tampak masih terlalu menarik dibandingkan risiko kehilangan nyawa.   

            Sistem ekonomi kerakyatan yang menjunjung kerja sama atau gotong royong antar warga dengan bentuk ideal koperasi pun hanya ada di atas kertas sementara dalam prakteknya diterapkan sistem liberalisme, seakan ikut meneguhkan kebancian sistem demokrasi yang dianut. Alokasi budget dana rakyat yang dibuat oleh pihak eksekutif dan disetujui oleh pihak legislatif. Hampir 90% lebih digunakan untuk membiayai anggaran rutin guna membayar utang dan keperluan birokrasi seperrti gaji, tunjangan beserta fasilitas lainnya, sementara sisanya digunakan untuk anggaran pembangunan  masyarakat. Rasio volume kerja dengan keberadaan pegawai pemerintah berbanding 4:1, artinya pekerjaan klerikal pemerintah yang seharusnya bisa ditangani oleh 1 orang dikerjakan oleh 4 orang. Akhirnya penyerapan dana untuk gaji pegawai pemerintah pun selalu membengkak setiap tahunnya (sukses salah satu negara benci demokrasi, yakni China, yang bisa memangkas pengeluaran rutin belanja pegawai dengan melakukan rasionalisasi secara bertahap terhadap pegawai pemerintah bisa dijadikan contoh menarik).

            Politik menjadi panglima sementara hukum  menjadi pelayannya, menjadikan warna kehidupan di negara demokrasi banci didominasi oleh perilaku para  politisi. Berita-berita di media masa selalu berkorelasi dengan partai politik. Kejahatan korupsi yang ada, pelakunya atau persitiwanya selalu melibatkan  salah satu partai politik . Upaya pemberangusan atau likuidasi lembaga-lembaga anti korupsi selalu digagas oleh para politisi dengan berbagai macam dalih hukum atau kebebasan mengeksperesikan pendapat. Atas nama demokrasi, para penegak hukum harus menghamba kepada para politisi.              

Negara demokrasi banci adalah negara demokrasi yang tidak jelas jenis kelaminnya, ujjar sang Profesor membuat konklusi. Selengkap apapun instrument demokrasinya, tapi jika tidak  didukung penegakan hukum yang memadai  hanya akan menciptakan  barisan kleptomania birokrasi yang menelikung hak-hak rakyat. Negara benci demokrasi  contohnya adalah negara yang dipimpin oleh seorang fasis yang berkumis setengah ‘baplang’, seperti Hitler. Negara demokrasi sejati contohnya adalah negara yang dipimpin oleh seorang yang berkumis melingkar penuh, seperti Abraham Lincoln. Sedangkan negara demokrasi banci contohnya adalah negara yang dipimpin oleh orang yang berkumis tipis. Sampai kuliah berakhir, sang professor tidak menyebutkan prototype pemimpin negara demokrasi banci, dan para audien yang hadir pun tidak menanyakannya. Mungkin karena semua yang hadir dianggap sudah sama-sama mengetahui atau jangan-jangan karena hampir semua yang hadir paham bahwa keberadaaan negara demokrasi banci hanyalah sebuah utopia. 


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website