PDM Kota Cirebon - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Cirebon
.: Home > Artikel

Homepage

WANTED THE TRUE HUMAN (DICARI MANUSIA SEJATI: “HAJI”)

.: Home > Artikel > PDM
24 Oktober 2012 18:34 WIB
Dibaca: 2250
Penulis : Sunardi

Buya Hamka pernah menulis, andaikata Nabi saw masih hidup dan meyambut kedatangan para jamaah haji kita di bandara Soekarno-Hatta, jamaah HAJI  kita yang berasesoris serba putih terutama berpeci putih bagi kaum Adam  yang dari tahun ke tahun meningkat itu, barangkali beliau  akan berkata kepada para haji yang datang itu,”Benar,  engkau telah berpakaian serba putih, namun pecimu belum seputih hatimu”.

Sebuah kritik sosial terhadap fenomena negeri ini, bahwa  pada umumnya kita berhenti pada kesalehan ritual namun tak berdampak pada realitas sosial kita.  Kita belum melakukan kesalehan sosial.

Hampir sebagian besar kita masih banyak melakukan kesalahan sosial. Fenomena korupsi yang makin massif, para pemimpin yang tak amanah, rakyat yang makin permisif (serba boleh), kesenjangan sosial yang begitu menganga adalah bukti bahwa kita baru melakukan kesalehan ritual yang seyogyanya memberi perubahan pada perilaku kita. Pada perilaku sosial kita. Namun justru tidak.

Lebih jauh, Kang Jalal, dalam buku reformasi sufistik, bercerita soal manusia sejati ini, para haji:

Saat itu, arofah, Sembilan Dzulhijjah, pada paruh kedua abad pertama Hijriah. Ratusan ribu kaum muslimin berkumpul di sekitar Jabal Rahmah, bukit kasih sayang. Segera setelah tergelincir matahari, terdengar gemuruh suara zikir dan doa. Ali bin Husayn bertanya kepada Zuhri,”Berapa kira-kira  orang yang wuquf di sini?” Zuhri menjawab,”Saya perkirakan ada empat atau lima ratus ribu orang. Semuanya haji, menuju Allah dengan harta mereka dan memanggil-Nya dengan teriakan mereka. Ali bin Husayn berkata,”Hai Zuhri, sedikit sekali yang haji dan banyak sekali teriakan”. Zuhri keheranan,”Semuanya itu haji, apakah itu sedikit?” Ali menyuruh Zuhri mendekatkan wajahnya kepadanya. Ia mengusap wajahnya dan menyuruhnya melihat ke sekelilingnya. Ia terkejut. Kini ia melihat monyet-monyet berkeliaran dengan menjerit-jerit. Hanya sedikit manusia di antara kerumunan monyet. Ali mengusap wajah Zuhri kedua kalinya. Ia menyaksikan babi-babi dan sedikit sekali manusia. Pada kali yang ketiga, ia mengamati banyaknya serigala dan sedikitnya manusia. Zuhri berkata,”Bukti-buktimu membuat aku takut. Keajabanmu membuat aku ngeri” (Al-Hajj fi al-Kitab wa as-Sunnah)

Berkat sentuhan orang saleh, Zuhri dapat melihat, walaupun sejenak, ke balik tubuh-tubuh mereka yang wuquf di Arofah. Tuhan menyingkapkan tirai material dan pandangannya menjadi sangat tajam. Ia terkejut dan kebingungan karena begitu banyaknya orang yang tampak pada mata lahir sebagai manusia dan pada mata batin sebagai binatang.  Apakah kebanyakan kita hanyalah manusia secara majazi (kiasan) dan binatang secara hakiki?

Seyyed Hossein Nasr menulis, “Manusia diciptakan dalam susunan yang terbaik. Tetapi kemudian ia jatuh, ia jatuh pada kondisi bumi berupa perpisahan dan keterjauhan dari asal-usulnya yang Ilahiah” (Sufi Essays). Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, kita adalah seruling bamboo yang tercerabut dari rumpunnya. Ketika suara keluar, yang terdengar adalah jeritan pilu, dari pecahan bamboo yang ingin kembali ke rumpunnya semula. Kita hanya akan hidup sebagai bamboo sejati  jika kita kembali ke tempat awal kita. Kita hanya akan kembali menjadi manusia lagi jika kita kembali kepada Allah.

Itulah sebabnya ketika berhaji kita menanggalkan symbol-simbol kebinatangan kita. Lambang-lambang status yang kerap dipakai untuk memperoleh perlakuan istimewa, kita tanggalkan. Kita mengenakan kain ihram yang sama dengan kain kafan putih itu. Berganti dengan pakaian kesucian, kerendahhatian, kejujuran, dan pengabdian.

Ibadah haji sebuah safar (perjalanan) untuk kembali kepada fitrah kemunusian. Journey to back to basic of human. Kehidupan telah memporakporandakan kemanusiaan kita. Ilmu yang kita miliki yang seyogyanya menjadikan kita mengerti dan tahu diri, justru menjauhkan kita kepada Tuhan. Kejujuran makin mahal di sekolah-sekolah kita terutama saat  Ujian Nasional berlangsung. Birokrasi yang penuh kolusi, wakil rakyat yang tak memperjuangkan aspirasi masyarakat banyak dan kerumitan lainnya yang butuh solusi oleh para haji kita.

Di Miqat, tempat ritual ibadah haji dimulai, menurut Ali Syariati, apapun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan.

Thawaf, mengajarkan makna/kesadaran oseanik akan keselarasan kita dengan alam semesta bahwa seluruh semesta berthawaf kepada-Nya. Proton, netron, elektron yang berthawaf. Bumi, rembulan, mentari  dan benda langit lain yang berputar. Lingkaran tahun yang ada pada kambium tumbuhan semuanya berputar bak Tarian Sema, tarian sufi tarekat Maulawiyah/Jalaludin Rumi di Turki, yang berputar-putar hingga mencapai ekstase. Mengingatkan kita pada dialog Nabi dan Umar bin Khattab bahwa, “Wahai Umar, Allah menyampaikan salam untukmu”. Maka Umar pun menari-nari kegirangan. Tarian cinta. Bak pemuda yang mendapat salam dari wanita yang dicintai dan mencintainya. Ka’bah tak pernah sunyi dari manusia yang berthawaf. Semua makhluk berthawaf. Namun dalam konteks kehidupan manusia ada yang berthawaf seperti pencuri/setan yang berkeliling mencari  rumah ataupun iman seseorang yang akan dirampoknya, tetapi juga peronda yang berkeliling mencari pencuri. Sejarah manusia berisi pergulatan antara yang benar/kebenaran dan yang keliru/salah/kejahatan. Bak KPK dan koruptor.

Sa’i, symbol kerja keras dan pengorbanan  kita dalam meraih cita-cita diri dan social kita seperti yang difragmentasikan oleh Hajar dalam mencari air kehidupan: kebenaran dan kebahagiaan hidup.

Wukuf, mengingatkan kita akan pengadilan kita nanti, saat di Padang Mahsyar, menanti proses penghitungan amal kita. Pelajaran moral akan pentingnya kita berbuat adil pada sesama.

Lontar jumrah, mengingatkan kita  bahwa setiap cita-cita baik, pengabdian tulus akan selalu dihadang oleh rintangan dan hambatan. Simbol permusuhan abadi antara kita dan setan yang senantiasa menghalangi manusia dari jalan Allah.

Bagaimana yang belum haji dan belum memiliki kemampuan? (alm) Ayip Muh dalam suatu kesempatan pernah memberi nasehat,”Jangan memustahilkan bahwa kita tak akan pernah ke sana karena mahalnya berhaji. Logika Tuhan berbeda dengan logika kita, sembari mengisahkan tentang Kisah Zakaria yang meski telah tua dan istrinya mandul, namun tak pernah kecewa memohon kepada-Nya, untuk dianugerahi keturunan. Dan berujung lahirlah anak yang didamba, Yahya as.

Pada akhirnya, kita memohon kepada-Nya semoga  para jamaah kita,  menjadi haji yang mabrur atau yang membawa kebaikan kepada semuanya agar mereka, kita dan siapapun kita adanya agar dapat mengambil bagian dalam upaya pemecahan masalah bangsa dan negeri ini dan sebaliknya bukan menjadi  bagian dari masalah yang ada, dan haji hendaknya dijadikan sebagai  perjalanan manusia untuk berjuang meraih cinta kepada-Nya dan  menuju kepada-Nya,   sebagaimana disimbolkan dari puisi cinta (kawan saya):

Adalah aku,    Yakub yang merindukan Yusuf,     Musa yang merindukan   Khidir,                                                                                                                                                                                                                       Mentari, laron, lilin, bunga tulip warna-warni                                                                                                               Jadi luluh di hadapan-Mu                                                                                                                                                                                                Aku makin tak mengerti, ketika aku mencoba memahami                                                                                                                                     Mari, matahari belum tinggi dan bulan masih nampak                                                                                                                            Tanggalkan pakaian yang ditembokkan orang lain pada pribadi kita                                                                                                          Menarilah demi cinta.

                                                                                                             Wallahua’lam.                                           Cirebon, 9 Oktober 2012


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website