PDM Kota Cirebon - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Cirebon
.: Home > Artikel

Homepage

Menggagas Dinas Kaki Lima

.: Home > Artikel > PDM
17 Desember 2011 12:34 WIB
Dibaca: 2272
Penulis : Sukardi

 

Amanat konstitusi Republik Indonesia memberikan hak kepada setiap warga negaranya atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2 UUD 1945). Secara ekonomis pengertian penghidupan yang layak berkonotasi pada terpenuhinya kebutuhan primer yang meliputi sandang, pangan, papan dan pendidikan serta kesehatan bagi setiap warga. Pemerintah selaku pihak  pelaksana konstitusi  (dalam system trias politika yang membagi kekuasaan menjadi tiga elemen) jelas mempunyai kewajiban untuk berupaya semampu mungkin agar hak warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bisa terealisasikan.

Salah satu manifestasi pemerintah daerah Kota Cirebon dalam implementasi pasal 27 ayat 2 di atas adalah dengan menyediakan lapangan kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menyediakan lapangan kerja ditempuh dengan cara rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan pemerintah kota, sedangkan upaya secara tidak langsung dilakukan dengan memberikan kemudahan dan fasilitas kepada para pengusaha, baik berupa perijinan, fasilitas kredit, serta hal lainnya.

Untuk memenuhi hal tersebut maka pemerintah selaku pelaksana amanat konstitusi mempunyai kewajiban untuk memberikan fasilitas, kemudahan serta pelindungan secara proporsional kepada setiap warga negara agar mereka dapat memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang ada secara optimal. Proporsionalisasi kemudahan dan perlindungan yang diberikan pemerintah tercermin pada kebijakan-kebijakan ekonomi yang seimbang-berkeadilan kepada setiap usaha yang dilakukan masyarakat.

Dilihat dari jenis usahanya, sektor usaha dibagi menjadi sektor riil dan sektor perbankan. Antara kedua sektor terdapat pertautan yang kuat dan saling menguatkan. Sektor perbankan berfungsi menyediakan modal kepada sektor riil sementara sumber-sumber dana yang ada di sektor perbankan sendiri merupakan simpanan laba atau unsur likuiditas sektor riil yang belum dimanfaatkan dalam proses produksi. Sementara dari skala usahanya, pemanfaatan sumber-sumber pendapatan yang ada di masyarakat terbagi ke dalam sektor, yakni sektor formal dan sektor informal.

              Kategorisasi sektor formal dan sektor informal biasanya dilihat dari aspek permodalan, tempat usaha serta  wilayah usahanya. Sektor formal memiliki modal relatif lebih besar dibanding sektor informal. Demikian juga dengan lokasi usaha serta kecenderungan wilayah usahanya. Wilayah usaha sektor formal meliputi antar kota, antar propinsi bahkan antar negara sementara sektor informal jelajah usahanya paling jauh antar kota, itupun hanya sebagian kecil saja. Sebagian besar terkonsentrasi dalam satu wilayah kota, bahkan beberapa diantaranya hanya melayani konsumen di wilayah yang lebih sempit (seperti di sebuah ruas jalan atau lokasi kantor/sekolah).

                 Dengan jumlah modal serta wilayah usaha yang luas serta didukung oleh  manajemen yang baik dan fasilitas yang diberikan pemerintah, baik  melalui regulasi di bidang ekonomi  maupun kemudahan memperoleh pinjaman dana perbankan maka usaha sektor formal ini tumbuh dan berkembang dengan baik serta mampu meningkatkan jumlah produk domestik bruto. Sayangnya pertumbuhan  sektor formal ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan sektor informal., padahal dari segi kuantitas jumlah unit  usaha sektor informal ini jauh lebih banyak dari jumlah unit usaha sektor formal.

                 Keberpihakan otoritas moneter beserta segenap institusi derivasinyanya (perbankan dan non perbankan)  terhadap usaha sektor informal belum terlihat, kalaupun ada porsinya sangat minimal jika dibandingkan keberpihakan kepada sektor formal. Begitu juga dengan kebijakan-kebijakan para penguasa di daerah-daerah tempat dimana sektor usaha informal itu berada. Salah satunya adalah tentang lokasi usaha bagi para pengusaha sektor informal. Peraturan daerah (Perda) di beberapa wilayah Jawa Barat yang berkaitan dengan K3 (Kebersihan, Ketertiban  dan Keindahan) misalnya, sebagian besar  sama sekali tidak berpihak kepada pedagang kaki lima. Demi menjaga keindahan dan ketertiban kota maka dibuatlah peraturan daerah yang memperkecil ruang gerak para pedagang kaki lima dalam menjalankah usahanya.

                     Disamping faktor lahan atau lokasi usaha yang kian sempit karena adanya peraturan daerah, usaha sektor informal juga dihadapkan pada persoalan biaya bunga yang harus dibayar kepada para rentenir. Sulitnya memperoleh dana dari lembaga perbankan membuat para pengusaha sektor informal meminjam kepada seseorang atau lembaga keuangan non bank berbentuk koperasi simpan pinjam yang sengaja dibentuk beberapa pemilik modal besar dengan bunga yang tinggi.

                    Kendala-kendala tersebut di atas merupakan hal yang umum dihadapi para pedagang kaki lima di Indonesia. Demikian juga dengan pedagang kaki lima di Kota Cirebon yang terkonsentrasi di Jl. Karanggetas, Jl. Tentara Pelajar, Jl. Pagongan, Jl. Kartini dan Jl. Pekiringan. Marginalisasi melalui Perda No. 20 tahun 2006 yang melegalkan tindakan Satuan Polisi Pamong Praja untuk mengangkut peralatan/barang dagangan, makin meluasnya jalan bebas pedagang kaki lima, serta merajalelanya para rentenir yang memberikan pinjaman dengan bunga tinggi adalah beberapa kendala yang harus dihadapi.

                     Berangkat dari argumentasi bahwa setiap warga negara berhak pekerjaan dan penghidupan yang layak serta keberpihakan Agama Islam kepada kaum dhuafa maka penulis mencoba untuk melakukan penelitian sampai sejauh mana langkah-langkah yang diambil oleh para pedagang kaki lima itu dalam menghadapi kendala-kendala tersebut. Kemudian setelah mengetahui langkah-langkah yang diambil para pedagang kaki lima, penulis  mencoba merumuskan strategi bagaimana mengembangkan usaha kaki lima agar rentabilitas dan solvabilitasnya bisa meningkat.


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website