PDM Kota Cirebon - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Cirebon
.: Home > Artikel

Homepage

Sore di Tugu Pancoran

.: Home > Artikel > PDM
28 Desember 2011 13:54 WIB
Dibaca: 2315
Penulis : Sukardi

 

Namanya Siti, usianya belum genap 3 tahun ketika ayahnya yang berprofesi sebagai tukang becak meninggalkan dia bertiga dengan adik dan ibunya tinggal di sebuah rumah petak  yang minim ventilasi di wilayah Padalarang. Dan diusianya yang kedua belas dia harus rela bercucuran keringat di sela kesibukannya menuntut ilmu di sekolah yang tidak jauh dari rumahnya.

 Setiap hari dia menyusuri jalanan Kota Bandung dengan memanggul cobek yang terbuat dari batu. Berangkat dengan kereta api pagi buta dari rumahnya dan pulang ketika malam telah menjelang,  itupun kalau ada satu atau dua cobek yang terjual untuk  ongkos pulang. Jika tidak beruntung, maka dia dan beberapa kawannya harus rela tidur/bermalam di taman kota yang dingin sambil menahan lapar.

Hasil dari penjualan cobek dia gunakan untuk biaya sekolah dan sebagiannya untuk membantu keperluan sehari-hari keluarganya. Penghasilan ibunya yang berprofesi sebagai pemberi jasa cucian kepada para tetangga tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka bertiga.

Mungkin termotivasi oleh cita-citanya menjadi dokter (begitu ucapnya saat ditanya cita-cita setelah besar) dan juga melihat begitu sulitnya sang bunda memenuhi kebutuhan ekonomi mereka maka Siti berinisiatif untuk berjualan cobek, meski harus menempuh perjalanan puluhan kilo setiap hari dengan memanggul ’batu’ yang cukup berat untuk anak perempuan seusianya.

Terlihat jelas keceriaan di layar kaca saat Siti dan kawan-kawannya diwawancara oleh seorang ’host’ TV swasta yang menayangkan acara tersebut. Beberapa diantaranya ada yang berusia di bawah Siti. Tidak tampak kegundahan di wajah-wajah mereka. Dengan bahasa Indonesia yang kental dengan logat sunda mereka berbicara diiring gelak canda dan senyum khas anak-anak menjelaskan suka dukanya berdagang cobek.  Dari penelusuran ditemui bahwa 90% dari para pedagang cobek anak-anak itu tetap bersekolah, meski dengan  membolos untuk urusan ’bisnis cobek’ satu atau dua hari setiap minggunya. Tampaknya mereka paham benar bahwa dengan sekolah mereka akan meraih masa depan yang lebih baik.

Siapapun orang yang melihat tayangan tersebut, terutama bagi orang yang masih memiliki hati, orang yang masih berharap akan keberadaan  Indonesia sebagai sebuah negeri, orang yang masih percaya bahwa mereka, anak-anak penjaja cobek itu, adalah generasi yang kelak akan meneruskan kehidupan bangsa ini , hati pasti akan trenyuh sekaligus terkoyak, jiwa nasionalisme terasa membuncah, nurani terasa tercabik, rasa haru, kasihan dan bangga berbaur.

Semangat dan kearifan......, anak-anak pedagang cobek itu  punya semangat dan kearifan yang berasal dari kultur asli keindonesiaan. Mereka –dan anak-anak pekerja lainnya-, dari manapun asal suku atau etnisnya, mewarisi kultur ibu, bapak atau lingkungan dimana mereka dibesarkan.  Komunitas yang masih memiliki tradisi kuat dalam pelestarian nilai-nilai luhur seperti kesetiakawanan, gotong royong, penghargaan dan penghormatan kepada orang tua dan orang yang lebih tua, sikap pantang menyerah, hidup bersahaja dengan tidak mengkonsumsi kebutuhan secara berlebihan, rasa berbagi dengan orang lain, dipastikan akan menelurkan anak-anak generasi yang bisa diandalkan untuk bisa mendorong kemajuan masyarakat dan bangsanya.

Siti dan kawan-kawannya tinggal di kawasan yang secara ekonomis mungkin tidak menguntungkan bagi kepentingan mereka untuk mempersiapkan masa depan tapi lingkungan mereka, ibu dan tetangga-tetangga  mewariskan sikap mental yang positif  kepada mereka untuk menghargai kehidupan.   Kesulitan ekonomi, kurangnya fasilitas hidup, tidak adanya dukungan dari pihak eksternal (pemerintah dan orang-orang  mampu yang berada di luar komunitas mereka) tidak membuat mereka patah semangat dan menyesali nasib.

Bagi Siti dan kawan-kawannya, hidup adalah suatu yang harus disyukuri dan juga dinikmati. Hidup adalah hari ini dan juga persiapan untuk menghadapi masa depan sehingga sesulit apapun kehidupan, bersekolah tetap menjadi prioritas mereka. Rasa lapar dan dinginnya malam ketika cobek mereka tidak laku dan harus menginap di taman kota tidaklah berarti apa-apa dibandingkan dengan kebahagiaan mereka saat bersekolah.

 

Etika sosial

            Entah ada berapa lagi ’siti-siti’ lain yang tidak terdeteksi oleh media masa atau oleh lembaga pemerintah, tapi diperkirakan ada sekitar 2 juta lebih anak Indonesia yang memiliki profesi sebagai pekerja, sebagian bekerja ikut atau dengan orang tuannya dan sebagiannya lagi ”freelance” seperti Siti. Mereka rata-rata bekerja lebih dari delapan jam sehari sehingga bisa dipastikan mereka tidak memiliki waktu untuk menikmati masa anak-anak, mengembangkan diri mereka, membentuk karakter,  melalui permainan, pergaulan, dan aktifitas-aktifitas anak lainnya.

Mereka terpaksa melepas masa kecil yang penuh warna bunga dan harus membanting tulang mereka yang ringkih, tak pernah sedikitpun dalam pikiran mereka untuk mengkonsumsi susu atau suplemen yang berkadar tinggi agar tidak digerogoti osteoporosis .. Tidak ada waktu buat mereka untuk berhenti bekerja atau berlama-lama menyesali keadaan. Berhenti berarti perut keroncongan, berhenti berarti peluang mereka untuk meraih masa depan dengan cara bersekolah hilang.

Yang pasti tidak mungkin Ibu Siti dan orang tua manapun  yang tidak menginginkan anak-anaknya hidup sejahtera, tapi kondisi makro ekonomi yang kian memburuk membuat mereka tidak punya waktu untuk memanjakan dan memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka.

Sebagai sebuah bangsa kita terikat oleh etika sosial yang menyebut bahwa setiap individu bertanggung jawab atas nasib individu lainnya, setiap individu adalah interdependensi dengan individu lainnya karena sebutan bangsa terjadi akibat adanya kontrak sosial dari sekelompok komunitas yang berjanji untuk senasib dan sepenanggungan dalam menjalani hidup dan kehidupan. Kesulitan ekonomi dan kesulitan memperoleh pendidikan sebagian komunitas hendaknya harus menjadi kesulitan komunitas  yang lain (paling tidak ikut memikirkan solusinya).

’Komunitas siti’ bisa jadi tidak beruntung secara ekonomis, tapi dipastikan tidak membutuhkan belas kasihan atau sumbangan material, mereka memilih untuk mandi keringat di jalanan daripada menjadi pengemis. Komunitas siti adalah komunitas genuin Indonesia yang mempunyai spirit menghargai kerja keras dan pendidikan,  sama seperti seperti ’spiritualitas’ genuin bangsa Jepang atau etika protestannya bangsa Eropa. Yang mereka butuhkan adalah kemudahan untuk mengakses pendidikan.

Mereka masih meyakini bahwa pintu gerbang meraih masa depan lebih baik hanya bisa ditempuh melalui sekolah. Dengan sekolah maka kualitas kemanusiaan mereka akan meningkat. Dengan bersekolah mereka bisa lebih kuat untuk menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi yang menghadang mereka, disisi lain sekolah juga mereka jadikan sebagai tempat untuk ’melepas kepenatan’ dan kejenuhan disela aktifitas mereka mencari uang.

 

Political Will

Langkah pemerintah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun dan sekolah gratis  menjadi langkah cerdas untuk menjawab kesulitan yang dihadapi oleh ’komunitas siti’, apalagi didukung oleh budget 20% dana pendidikan dari APBN di tahun 2009.  Tapi rasanya tidak berlebihan jika komunitas lain  mulai melakukan rekonstruksi  paradigma terhadap persoalan-persoalan peningkatan sumber daya manusia negeri ini.

Pertama, bahwa volume sumbangan/infak untuk hal-hal fisik seperti mendirikan bangunan seperti masjid misalnya porsinya lebih diperkecil. Sementara infak untuk untuk honor ustadz atau bea siswa para santri lebih diperbesar, mengumpulkan dana dalam rangka pemberian bea siswa anak-anak sekolah SD, SMP, SMA yang tidak mampu lebih diutamakan dari pada untuk membangun tempat ibadah. Sudah terlalu banyak masjid dan mushola (yang tidak dimakmurkan keberadaannya oleh para jamaah atau orang-orang yang ada disekelilingnya)  di Indonesia sekarang ini.

Bershodaqoh atau beramal jariah kepada anak-anak yatim agar mereka bisa bersekolah dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan mereka dipastikan akan lebih mendapat pahala dunia akherat dibanding beramal jariah membangun mushola atau masjid yang jamaah subuhnya hanya terdiri dari imam dan seorang petugas kebersihan masjid.

Para mubaligh dan tokoh-tokoh agama pun sebaiknya mulai menekankan pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia dari pada memperbanyak  jumlah atau memperindah tempat ibadah dalam setiap ceramahnya.

Kedua, kontrol birokrasi terkait dengan dana-dana pendidikan yang digelontorkan dari APBN (yang nota bene merupakan uang rakyat). Tidak siapnya aparat birokrasi di tingkat kota/kabupaten dalam memanfaatkan dana pendidikan dengan indikasi hanya melakukan pelatihan-pelatihan guru yang tidak akurat manfaat dan kegunaannya bagi peningkatan pendidikan (sementara guru sendiri tidak bersikap kritis alias hanya mengekor, yang penting dapat uang makan/saku).

Dan yang paling menyolok adalah penggunaan dana yang tidak tepat di tingkat sekolah wa bil khusus dana yang digunakan oleh kepala sekolah, indikasinya adalah tidak sedikit kepala sekolah yang saat menjadi guru kondisi ekonominya sama dengan orang kebanyakan, tapi setelah satu atau dua tahun meningkat sangat drastis tunjangan struktural kepala sekolah hanya sedikit lebih banyak dibanding tunjangan fungsional guru. Sementara dengan kesibukannya sebagai kepala sekolah, sangatlah mustahil bisa menjalankan usaha dagang atau bisnis lainnya.

Sebagai institusi paling bawah dalam pendidikan, maka sekolah memiliki peran strategis untuk menjadi kunci sukses meningkatnya kualitas manusia Indonesia. Keberadaan kepala sekolah yang mencukupkan diri dengan gaji dan tunjangan yang diberikan rakyat melalui Menteri Keuangan serta guru-guru yang bersikap kritis konstruktif dengan loyalitas penuh menjadi niscaya dalam kompetisi global sekarang ini.

Dan untuk menjaga dan memelihara idealisme maka para pekerja pendidikan sekali-kali sebaiknya bergabunglah dengan komunitas OI dengan Iwan Fals sebagai bigboss-nya untuk menyanyikan lagu wajib Sore di tugu Pancoran  yang sarat dengan pesan-pesan edukatif dan semangat bajanya  si Budi kecil  ’temannya’ Siti. 


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website