Kekuatan Mimpi Calon Walikota
Dibaca: 2488
Penulis : Sukardi
“Kalau kota Cirebon mau maju, kita harus memilih dan mengangkat seorang walikota yang mempunyai visi sekaligus mimpi untuk memajukan daerah warisan Sunan Gunung Jati ini. Kota Cirebon harus dipimpin oleh seorang yang visioner, seorang yang memiliki kelebihan dalam menilai dan memandang masa depan, dan bukan seorang pecundang yang hanya memikirkan saat ini dan disini, hanya memikirkan perut keluarga dan kroninya”, suara Mang Bukori membelah hiruk pikuknya lalu lintas malam di jalan Kartini.
“Disamping seorang yang visioner, calon walikota yang akan memimpin Kota Cirebon nanti adalah seorang yang mempunyai mimpi. Seorang pemimpin yang memimpikan seluruh warga kota mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan gratis dan berkualitas. Seorang pemimpin yang memiliki kepekaan terhadap persoalan-persoalan yang menyentuh seluruh warga Kota Cirebon”, lanjut Mang Bukori sembari memegang erat mikropon milik Wajebod tukang getuk lindri.
Gara-gara tahun lalu menjadi wasit lomba balap karung dan makan krupuk dalam rangka perayaan proklamasi di lingkungan RT- nya maka Mang Bukori di daulat menjadi juru bicara para pedagang kaki lima dalam Forum Klemparakan Rada Bengi (FKRB) yang digagas oleh MES. MES sendiri singkatan dari Mahasiswa Ekonomi Susah, sebuah komunitas yang mayoritas anggotanya terdiri dari intelektual nekad yang orang tuanya berpenghasilan minim tapi besar kemauan untuk menjadi orang yang berakal budi tinggi.
Berbekal pengalaman makan asam garam yang diramu oleh walikota Dasawarsa hingga walikota terakhir dalam memimpin kota Cirebon, Mang Bukori juga akhirnya ikut nekad menerima tawaran dari kawan-kawannya dari komunitas pedagang kaki lima (PKL) untuk menjadi juru bicara mereka.
“Kekuatan mimpi seorang calon walikota akan menentukan maju mundurnya kota Cirebon, karena mimpi, disamping berkonotasi kepada adanya suatu harapan yang harus diupayakan untuk diwujudkan, mimpi juga merupakan akronim dari sebuah kekuatan seorang calon. M pertama adalah singkatan dari Melek, I pertama adalah singkatan dari Isin, M kedua adalah singkatan dari Manajemen, P adalah singkatan dari Pulus alias uang, dan I kedua adalah singkatan dari Integritas”.
“Seorang walikota harus kuat melek, baik melek bengi melalukan safari dalam rangka kunjungan ke wilayah-wilayah yang rawan kriminalitas serta komunitas atau kantung-kantung kemiskinan kota. Atau melek realitas sosial ekonomi kapitalis murni yang berkecenderungan memiskinkan rakyat miskin. Memahami persoalan-persoalan dengan melakukan silaturahmi kepada para akademisi kampus yang concern di bidang ekonomi untuk mendapatkan masukan berharga. Sehingga kebijakan yang dibuat akan lebih pro rakyat (miskin) tanpa merugikan para pengusaha/pemodal.
Melek hukum dan peraturan perundangan-undangan juga menjadi syarat mutlak bagi seorang walikota terpilih nanti. Pemahaman yang baik terhadap persoalan kedua hal tersebut akan terlihat dalam perumusan peraturan daerah yang terkait dengan ekonomi, sosial, kesehatan warga selaras dengan spirit hukum dan peraturan yang ada di atasnya. Karena bagaimanapun juga, hukum dan peraturan perundangan yang telah diundangkan oleh pusat mempunyai kualitas dan dirumuskan secara hati-hati serta melibatkan orang-orang ahli dibidangnya.
Isin(rasa malu) yang dalam perpektif agama merupakan salah satu tanda keimanan harus dimiliki oleh calon walikota terpilih. Seorang ‘amir’ (pimpinan) yang menjadi reseprentasi warga yang berkomitmen terhadap masa depan tajug lan fakir miskin sudah seharusnya memiliki rasa malu yang lebih tebal dibandingkan rakyat biasa dan para pejabat yang berada di bawah komandonya. Indikasi terimplementasikannyanya komitmen adalah jarangnya sang ‘amir’ berada di tempat-tempat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, baik secara etika moral, etika sosial maupun etika agama.
Rasa malunya juga akan membuat dia akan berhati-hati dalam membuat rancangan pendapatan dan belanja daerah serta dalam mengimplementasikannya. Keberpihakan kebijakan kepada rakyat banyak tanpa menafikan kepentingan para pengusaha dengan memberikan berbagai kemudahan dalam melakukan bisnisnya. Dia akan selalu berusaha untuk mengoptimalkan layanan aparat yang berada di bawah komandonya. Didorong tanggung jawab sebagai seorang pemimpin dia akan melakukan koreksi terhadap para petugas kesehatan yang cenderung tidak melakukan pelayanan prima terhadap pasien dari kalangan miskin yang tidak profitable.
Rasa malunya akan muncul manakala jalanan kota tidak nyaman (karena banyaknya lubang) bagi para pemakai yang nota bene membayar pajak dan kontribusi retribusi. Hamparan sampah yang banyak bertebaran dan mengotori kota akan disiasati dengan mengerahkan pasukan kebersihan yang akan diberikan insentif lebih jika bisa memelihara kebersihan kota.
Menguasai manajemen secara umum serta pemahaman tentang manajemen pemerintahan adalah merupakan hal penting hal bagi seorang calon walikota. Jabatan politis yang disandang oleh seorang calon walikota akan membuat para birokrat/pegawai pemerintahan yang berada di OPD-OPD (Organisasi Perangkat Daerah) cenderung meng-underestimate sang walikota (yang kebetulan bukan dari kalangan birokrat) tidak menguasai tata kelola pemerintahan. Ketika sang walikota di underestimate alias dipandang sebelah mata ternyata mampu menjalankan roda pemerintahan kota secara efektif dan efisien maka bisa dipastikan akan makin menaikkan pamor di mata jajaran bawahannya.
Seorang calon walikota Cirebon idealnya secara ekonomi harus kuat. Karena diakui atau tidak sistem pemilihan langsung akan banyak membutuhkan banyak biaya bagi setiap calon yang akan bertarung. Pemasangan baligo atau kaos bergambar sang calon, iklan di media massa dan berbagai kiat lain dalam rangka mengenalkan calon kepada publik jelas membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sang calon harus memiliki dana sendiri dan bukan dari hasil pinjaman/utang bank, apalagi dari para kapitalis dengan perjanjian kompensasi pemberian fasilitas (yang merugikan rakyat) jika sang calon telah terpilih. Independensi walikota saat membuat kebijakan demi kesejahteraan adalah sesuatu yang mutlak, dan politik balas budi walikota terhadap pengusaha yang memberikan dana saat kampanye cenderung akan membuat kebijakan menjadi bias.
Yang terakhir adalah seorang calon walikota harus memiliki integritas. Tanpa integritas seseorang tidak akan mungkin menjadi pemimpin yang baik. Integritas merupakan kualitas kepribadian seseorang yang substansinya selalu sama antara lidah dan perilaku, antara ucapan dan perbuatan. Seorang calon walikota yang memiliki integritas akan mengimplementasikan janji-janji yang dibuat ketika masa kampanye dengan menuangkannya dalam rancangan pembangunan daerah. Seorang calon walikota yang memiliki integritas akan mencukupkan diri dan keluarganya dengan gaji dan fasilitas yang diterimanya dari rakyat melalui APBD. Tidak mengkhianati rakyat dengan memberikan menjual aset-aset rakyat dengan harga yang murah. Kalaupun terpaksa menjual atau terjadi tukar guling maka dia akan memilih kebijakan jangka panjang yang menguntungkan rakyat.
Sri Edi Sarwono, seorang Begawan ekonomi kerakyatan dari UI pernah menulis di Koran Kompas bulan lalu dengan tajuk Bupati Inlander bahwa salah satu kelemahan pemimpin daerah di Indonesia adalah tidak punya visi tentang ekonomi kerakyatan. Mereka menjual aset daerah (berupa tanah) kepada kapitalis asing (untuk mendirikan restoran siap saji) dengan harapan bisa mendongkrak PAD, padahal secara tidak langsung penjualan aset tersebut justru mematikan usaha ekonomi rakyat dan membuat pendapatan masyarakat luas akan terakumulasi dan mengalir ke kapitalis asing tersebut.
“Jadi saudara-saudara, mari kita pilih calon wali kota yang mempunyai mimpi yang kuat, yang mempunyai visi ekonomi kerakyatan dan bisa mengapresiasinya secara cerdas. Jangan memilih calon lantaran memberi kita lima carik stiker plus kaos dan lima botol kecap, atau karena memberi kita uang lima puluh ribu saat menjelang pencoblosan”, teriak Mang Bukori garang.
“Jangan mau menukar penderitaan dan kekecewaan selama lima tahun hanya dengan lima siker dan lima botol kecap atau dengan uang lima puluh ribuan….!!”. Tapi suara Mang Bukori berikutnya hanya terdengar lamat-lamat, ditimpa oleh hujan yang turun tiba-tiba, dengan curah yang lebat.
Tags: